Nggak maksa buat follow, tapi nggak mau pura-pura kepencet gitu? Hehe. Selayaknya bunga yang butuh waktu untuk mekar tapi belum tentu akan mekar dengan sempurna atau malah gugur sebelum waktunya. Dan aku seperti bunga itu. Kelopakku gugur sebelum kuncupku sepenuhnya merekah. Tak ada yang benar-benar menginginkan ku di dunia ini. Jika tau menjadi pemeran utama sesakit ini, maka jika diberi pilihan aku lebih memilih menjadi antagonis. Apakah aku harus mati untuk dicintai? Jika memang seperti itu tolong percepat kematianku Tuhan. ***** "Dasar bajingan! Karena kakak gak bisa nyentuh kak Raisa kini kakak lampiasin ke aku?! Gak bisa main sama kakaknya terus asal main sama adiknya gitu? Wah hebat banget kamu." Raina tertawa sumbang dengan air mata yang semakin deras. "Kenapa diem? Udah gak mau ngelanjutin?" tanya Raina dengan sorot mata jelas jika gadis itu tersakiti. Dirga merendahkan tubuhnya, menjajarkan kepalanya di depan kepala Raina. "Emang. Lo emang cuma gue buat pelampiasan nafsu doang. Dan lo salah besar kalo mikir gue gak akan lanjut kegiatan ini," jawab Dirga dengan suara rendah. Tentu saja Raina terkejut tidak menyangka jika Dirga akan menjawab seperti itu. Kini dirinya benar-benar dalam bahaya. Dirga bangkit dari menindih tubuh Raina. Cowok itu dengan cepat melepas seragam sekolahnya membuat tubuh bagian atasnya telanjang. Dengan terburu Dirga menindih lagi tubuh Raina agar gadis itu tak kabur. "Kita lanjut yang tadi."