Bab 5. If I

57 8 37
                                    

"Gue benci hidup gue saat ini."
-Danar-

©nurpratiwihm

🍭

Cia menatap heran Naren yang terdiam dalam perjalan menuju parkiran. Perasaan abangnya itu masuk kedalam ruangan dengan suasana hati yang baik-baik saja, lalu kenapa disaat keluar ruangan wajahnya ditekuk kek gitu? Kayak tepung adonan roti yang tidak jadi. Apa ada penelitiannya yang kurang memuaskan?

"Bang," Cia berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Naren yang sedikit bejalan terburu-buru.

"Hm?"

Naren merespon tapi, kok secuek itu? Astaga Cia harus ngapain? Ini ada apa?

"Abang kenapa?"

Naren tak menjawab pertanyaan Cia, fokusnya kini pada tasnya untuk mencari kunci mobil yang Ia simpan disana.

"Bang," Cia kembali bersuara saat melihat abangnya mengelilingi badan mobil untuk sampai di pintu kursi pemudi.

"Diam Cia, masuk mobil! Kita ke toko buku sekarang." perintah Naren lalu memasuki mobil

Cia lalu membuka pintu mobil dengan wajah ingin protesnya, "Wae? (Mengapa) kenapa kita harus ke toko buku bang? Cia gak mau! Cia ingin pulang!" protes Cia dengan kembali menutup pintu mobil kesal.

"Temani abang," Naren menyalakan mesin mobil dan bergerak cepat mengeluarkan mobil dari area parkiran.

"Gak mau! Enak aja, Cia udah nungguin abang sedari tadi. Masa nungguin satu jam sekarang nemenin abang ke toko buku? Tau kan kalau toko itu toko yang paling Cia hindari? Dan apa? Pasti Cia disuruh menunggu lagi kan? Gak, gak gak! Menunggu itu gak enak!"

Plak!

"Aakh! Abang!"

Cia menggerutu dengan kesal saat Abangnya dengan ringan tangan menggeplak kepalanya tanpa rasa bersalah.

"Ngerocos mulu, nanti abang traktirin boba,"

"Boba bikin gemuk bang!"

"Sturbuck,"

"Cia gak haus,"

"Ice cream?"

"Gak minat,"

"Makan deh, makan! Resto—"

"Album bang, Cia maunya album Seventeen."

Naren menatap Cia datar tapi hanya sesaat karena dirinya harus fokus dijalanan yang selalu bikin istighfar karena macet.

"Gak! Beli yang lain aja, lo gak bakal kenyang kalau cuman beli album yang gak ada faedahnya itu,"

Cia memiringkan sedikit tubuhnya menghadap Naren yang sedang fokus menyetir, "Gak ada faedahnya buat abang tapi bagi Cia itu suatu sumber kebahagian yang seisi dunia pun gak bakal bisa menjabarkan kebahagiaan itu."

"Bahagia itu ketika lo bisa dapat nilai bagus disekolah, bukan hanya bahagia untuk diri sendiri tapi lo bisa bahagiain keluarga dengan prestasi itu." ujar Naren sedikit melirik Cia yang sudah memasang wajah kesal.

"Apakah nilai yang bagus itu adalah tolak ukur kebahagian seseorang? Apa nilai bagus itu adalah tolak ukur kesuksesan kita nanti? Bang! Cia udah bosan dengar kata 'nilai'. Yes, Cia very stupid but don't judge me, Cia ingin hidup tenang dengan standar kebahagian Cia sendiri." tukas Cia mengeluarkan unek-unek yang selalu ingin Ia keluarkan didepan mamanya tapi tak pernah kesampaian. Rasa sopan sebagai anak masih menahan batinnya untuk mengeluarkan kata-kata tidak pantas di depan mamanya.

Asa Untuk RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang