Prolog

105 16 46
                                    

.
.
.

Yongsan-gu, Seoul, Korea Selatan.

Terlihat seorang wanita dewasa sedang dalam mode seriusnya mengamati dokument penting didepannya. Selang beberapa menit, Ia memijat pelan pelipisnya lalu beralih melepas kacamata baca yang bertengger dihidungnya.

Hembusan nafas terdengar samar, tubuhnya bergerak meninggalkan meja kerjanya dan melangkah mendekati dinding kaca yang lebar itu. Matanya menangkap ratusan mobil yang berjejer rapi diatas jembatan Hangang. Sangat padat ditengah teriknya matahari. Ini adalah spot favoritenya kala jenuh dengan pekerjaannya.

Sekarang memasuki musim panas, tapi rasa-rasanya para pengendara diluar sana tak terusik dengan panasnya matahari yang menyengat. Ia tak heran, 8 tahun berada di negeri ginseng ini membuatnya paham dengan keadaan sekitar. Seoul adalah kota terbesar di Korea Selatan, kepadatannya seperti di Jakarta. Terlebih sungai Han yang menjadi pusat wisatanya.

Matanya tak pernah lepas pada pemandangan yang penuh sesak itu, jembatan Hangang selalu penuh dengan kendaraan, jembatan yang menjadi tempat favorite seseorang untuk melakukan kasus bunuh diri.

"Imo¹."  Suara anak kecil memasuki pendengarannya. Fokusnya kini beralih pada pemilik suara yang berlari mendekatinya.

Bibirnya pun tersenyum merekah, "Aigoo, lihat siapa yang datang," Serunya kini menunduk mengusap puncak kepala anak kecil di depannya.

"Imo, Hani kangen." Adu anak kecil itu dengan ekspresi cemberut.

Ia kembali tersenyum, "Nado²," Gemesnya lalu beralih memeluk anak kecil yang bernama Hani itu.

Ia melepas pelukan, "Kau sendirian?" Tanyanya dan menuntun Hani duduk ke sofa yang tersedia.

"Tidak, Hani bersama Appa³." Jawab Hani yang kini beralih membuka ransel yang digendongnya tadi.

Ia mengerutkan keningnya, "Lalu dimana Appamu?"

"Kenapa? Sudah kangen denganku?" Sahut seseorang yang baru saja memasuki ruangannya.

Matanya mendelik melihat lelaki itu,"Dari mana saja? Mengapa membiarkan Hani sendirian kesini? Kalau hilang bagaimana?"

"Heol, Kau marah? Aku lupa membelikanmu kotak makan siang saat kesini. Jadi aku kembali ke ke loby mencari makanan setelah mengantar Hani kedepan pintumu tadi. Jangan berburuk sangka padaku!" Jelas lelaki dewasa di depannya dengan wajah ditekuk.

"Imo,Appa! Jangan bertengkar, Ayo kita makan! Hani lapar." Sahut Hani dengan tangannya yang memegang sumpit mainan.

Ia tersenyum melihat tingkah Hani, lalu dengan segera Ia bergabung dengan Hani yang kini berusaha membuka kotak makanan.

Lelaki itu menatapnya datar,"Kau yakin akan kembali ke Indonesia?" Tanya lelaki didepannya setelah hening beberapa saat.

"Hm," Ia menganggukkan kepalanya samar

"Tidak takut akan bertemu dengannya?"

Gerakan tangannya melambat setelah mendengar pertanyaan lelaki didepannya. Ia sangat tau kemana arah pembicaraan lelaki itu.

"Jangan dipaksakan jika tak sanggup!" Titah lelaki tersebut

Ia menggeleng, "Aku sanggup. Lagi pula Jakarta itu luas! Aku yakin tak akan bertemu dengannya semudah itu,"

"Jika bertemu bagaimana?"

Ia menatap lekat lelaki didepannya, "Maka katakanlah itu takdir." ucapnya dengan senyuman tipis.

Takdir. Kata itu tak pernah dipercayainya sekarang, suatu sebab yang mematahkan rasa percayanya akan kata yang diagungkannya dulu. Mengingat dirinya dua belas tahun lalu membuatnya menggeleng miris. Betapa bodohnya Ia menghabiskan waktu hanya untuk membuktikan bahwa kata itu akan terjadi padanya dengan seseorang yang menjadi sasarannya sejak memasuki masa sixteen. Kini, Ia berubah! Ia tak akan mudah percaya. Ia hanya akan percaya jika takdir itu yang menghampirinya. Selama itu tak terjadi, katakan saja Ia tak akan pernah mempercayainya.

🍭🍭🍭

1. Imo = Bibi (Saudara Ayah atau Ibu)
2. Nado = Aku juga
3. Appa = Ayah

🍭

Bagaimana prolognya?
Ada keluhan?
Kurang greget?
Ya udah, nantikan part 1 nya ya...
Stay with my story
💚 Tiez

Gowa,03-11-2020

Asa Untuk RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang