Tajuk 1: Setia Menemani

46 8 8
                                    

Mimpi itu, bukan bunga tidur!

Hilmi mengacak rambutnya dengan kedua tangan. Wajahnya terlihat murung, padahal matahari menyambutnya dengan keceriaan, cerah dan hangat. Bahkan dalam posisi duduk kegelisahannya terpatri jelas, dalam bahasa dan gaya tubuhnya. Tangan kanan yang diperindah dengan jam tangan Chronograph itu akhirnya menopang dagu. Menyelesaikan ekspresi merenggutnya dan menatap jalan.

Waktu di mana orang-orang sibuk menjalankan mesin kendaraanya, Hilmi masih saja menyelami pikirannya. Padahal, pagi itu biasanya dia menerima tamu. BPJS Kesehatan Sukabumi buka pukul delapan pagi. Manusia yang menjadi suguhan senyum manis Hilmi, biasanya dari kalangan para ibu.

Benar saja, di sana seorang ibu sedang menuju ke pintu masuk. Dia berusaha membuang ekspresi kesal, menjadi mimik wajah pemuda ramah dan penuh wibawa. Hilmi merutuki diri sendiri setiap kali hal ini terjadi. Namun, kalau bukan pekerjaan ini, siapa yang bisa mengubah pemikiran langkanya.

"Hatur nuhun ...," kata ibu-ibu tersebut dengan anggun, lalu memasuki ruangan utama untuk mengambil nomor urut.

"Sami-sami." Tak lupa senyum menghiasi wajah pas-pasannya.

Kegiatan pagi Hilmi tidaklah membosankan, tetapi pekerjaan ini yang membuatnya sedikit demi sedikit menghilangkan ketakutannya.

"Hilal!" panggil seseorang.

Pemilik nama malah membelalakkan mata, bukan merespon apa lagi menjawab dengan bahagia.

"Hilal, 'kan?" tanya perempuan itu lagi. "Beneran Hilal, lho?"

"Kenal saya?" jawab Hilmi dengan pertanyaan yang lain. "Ibu ... siapa?"

Wanita itu terkekeh, tak lupa tangannya menutupi pertunjukan gigi yang berseri. Menawan. Dengan tatanan rambut disanggul kecil, wanita itu menyudahi sapaan yang tidak dikenali. Hilmi ingin mengejar, tetapi keadaan tidak memungkinkan karena tugasnya menjaga gerbang masuk, bukan pintu masuk.

Meski alisnya sudah bertaut jadi satu, Hilmi tetap tak mengenali perempuan itu. Hilmi beranggapan bahwa manusia tadi adalah sekelumit teman saat di SMP atau SMK. Otaknya tak merespon cepat, itu artinya dia hanya orang biasa dalam hidup Hilmi.

Tidak berlangsung lama, kira-kira empat puluh lima menit, wanita itu sudah keluar dari dalam kantor. Siapa sangka dia masih tersenyum saat melewati Hilmi seraya mengangguk, memberi salam dari jarak jauh. Tak mau memikirkan lebih dalam, Hilmi hanya mengangguk membalas sapaan tersebut dan bergumam, "Jangan datang lagi!"

Bekerja sebagai satpam membuatnya mengenal seluk beluk dari ekspresi manusia kebanyakan. Jadi, kali ini pun ia beranggapan bahwa wanita itu hanya ingin mengusik pria sepertinya dengan keluguan. Permainan yang amat kita kenal.

Akurasi jam tangan miliknya dengan jam digital di ruangannya, membuat Hilmi menyegerakan berganti pakaian dan langsung pulang setelah menutup gerbang. Rumah tempat Hilmi dibesarkan oleh sang nenek berada di gang samping kantor BPJS, cukup dekat.

Sharah. Perempuan itu memperkenalkan diri saat menyapa dengan elegan di depan pintu rumahnya.

"Maaf?" Satu kata yang dilontarkan Hilmi.

"Nama saya Sharah." Menegaskan huruf kunci dari namanya dengan bibirnya yang bergerak turun naik. Huruf Shad.

"Saya enggak penasaran."

"Masa? Padahal mikirin dari tadi pagi, 'kan?" sanggah Sharah sambil memajukan tubuhnya. Sang pemilik rumah masih enggan beranjak dari pintu, apalagi membukanya dan membiarkan manusia ganjen ini masuk.

Tak ada jawaban dari Hilmi. Membuat Sharah merenggut, memundurkan lagi tubuhnya dan memalingkan wajah. Suasana kikuk pertemuan mereka tadi pagi akan mencair pada sore hari, itu pemikiran Sharah. Namun hasilnya, laki-laki dingin di depannya tak ingin membiarkan keadaan menghangat.

"Sorry, aku pulang deh. Semoga kita bertemu lagi."

Hilmi hanya menatapnya tanpa kata, membiarkan tubuh dengan bayangannya pergi dan memberi ruang untuk otaknya berpikir. Di mana kami pernah bertemu? Sama seperti masa lalunya, wanita itu juga seolah-olah lenyap dalam ingatannya.

Rumah bercat merah ati, berplat coklat kayu di bawahnya, kusen jendela, dan pintu. Hilmi melakukan semua kegiatannya dan melupakan segala kejadian hari ini. Sesuatu dalam dirinya lebih mewanti-wanti akan hal yang biasa terjadi. Bukan takut, tetapi ngeri dengan keadaan. Meski dirinya ingin melepaskan, hal itu seperti tak pernah menjauh, apa dia harus dirukyah? Hilmi bertanya-tanya sembari mencuci peralatan makan yang digunakannya tadi.

Dia mengeluarkan ponsel pintar dari dalam saku jaket. Menghubungi beberapa nomor yang sepertinya hanya berbalaskan operator. Hilmi menggeleng. "Seharusnya nenek enggak ninggalin aku sendiri." Kalimat itu terlontar begitu saja. Harapan yang sia-sia, tentu saja Hilmi sadar. Sangat sadar.

Dia merebahkan badan yang mulai nyeri. Dada yang sesak karena menahan tangis membuat sekujur tubuhnya benar-benar ngilu. Apa ada alasan kenapa seorang anak ditinggal sendiri? Ayah, ibu, dan Nudia, telah lama pergi, disusul sang nenek bulan lalu. Meninggalkan seluruh kenangan dan kehampaan yang dinaungi kecemasan.

Sebelum dia terlelap, matanya mengeluarkan satu tetes air.

Tidak ada darah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tidak ada darah. "Lagi?" Hilmi bertanya pada dirinya sendiri. Dia hanya ingin bangun dari mimpi yang sudah menghantuinya delapan tahun ini. Mimpi yang berangsur-angsur menakutkan, tetapi jadi kebiasaan, dan akhirnya tidak terlalu menakutkan.

Dalam mimpinya kali, dia memilih diam. Tidak mendekati satu persatu tiga orang yang tengah terbujur kaku, seperti mimpi-mimpi sebelumnya. Dia bahkan tak ingin mengetahui wajah-wajah yang tak jelas. Blur. Dia hanya ingin bunga tidur ini cepat selesai dan bangun tanpa harus melihat ke kanan.

Hilmi masih tetap mematung, memperhatikan ke sekeliling. Jam digital seperti miliknya di kamar, berada di meja itu. Pukul sebelas lewat dua menit, persis seperti yang dia lihat setelah bangun dari tidur.

"Aku yang baru menyadarinya atau memang hal ini baru terjadi?" Hilmi menerka. Dia melihat ke sekeliling, mencari petunjuk lain yang mungkin adalah asal muasal mimpinya ini, sesuatu mungkin bisa menyudahi bunga tidur buruknya.

Mimpi ini seakan-akan setia menemani. Tidur panjang ataupun pendek, kilasan tiga orang di depannya yang telah mati dan bangun pada pukul yang sama, kejadian terus berulang yang tidak pernah berubah. Hilmi menatap jam itu lagi. Terletak di atas meja dengan berhias lampu dan asbak.

Langkah-langkah kecil Hilmi mendekati meja, melewati orang bertubuh mungil sedang menelungkup. Perlahan sampai sesuatu menariknya ke alam lain yang tak pernah terjadi. Dia berada di luar rumah. Rumah megah seperti vila yang ada di Selabintana, tapi dia tak pernah melihatnya. Ayunan dengan kursi kayu berada di samping kiri Hilmi, memperlihatkan dua anak yang tengah bermain.

"Tidak terlalu menakutkan," celetuknya memperhatikan segala penjuru dan berakhir pada sejoli tadi.

Anak laki-laki berlari, anak perempuan mengejarnya,  berlarian keliling lapangan dan si gadis terjatuh. Anak laki-laki dengan kaus merah polos itu berhenti, kemudian berbalik. Mendekati anak perempuan tadi.

Hilmi yang ingin membantu seketika berhenti. Mempertajam pendengarannya dan menatap mereka lekat.

"Sharah enggak apa-apa?"

ORESTES [Bukan Kutukan Bunga Tidur] - TamatWhere stories live. Discover now