Tajuk 16: Kenyataan I

6 3 7
                                    

Matanya tanpa sengaja menangkap gestur tubuh wanita yang mengajaknya bertemu. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu berada dalam mobil hitam. Hilmi tidak yakin dengan merek mobil itu, tetapi ukurannya, dia yakin, besar. Pelat nomornya sama sekali tak jelas. Tapi dari kodenya tidak seperti pelat nomor kebanyakan. Hilmi curiga, dia segera menelepon ayah Sharah dan mengikuti mobil itu.

Hilmi bisa saja menyalib kendaraan-kendaraan lain yang ada di hadapannya. Roda empat, roda dua, bahkan beroda enam sekali pun. Laki-laki itu tak melakukannya, dia penasaran dengan siapa orang yang ada di dalam mobil, atau sedang apa Sharah tertidur di dalamnya. Sebisa mungkin dia menghindari kontak dengan mobil yang kini membawa teman lamanya.

Apa mungkin? batinnya menerka.

Pikiran Hilmi berkelana terlalu jauh, tentang penculikan di siang hari yang begitu saja melintas di otaknya. Bagaimana seseorang bisa membekuk gadis di tempat ramai? Bagaimana mereka membawanya? Apa yang membuat mereka menculik Sharah? Hilmi terus bertanya-tanya. Mungkin sang ayah yang memiliki masalah?

Netranya tetap fokus pada kendaraan roda empat di depan sana. Seseorang itu membawa Sharah menuju pelosok, jauh ke arah Pelabuhan Ratu. Hilmi masih mengejarnya dengan kecepatan yang hampir sama. Mobil bergerak ke arah jalanan yang berkelok-kelok, pinggir jalan terdapat pohon-pohon tinggi. Sejauh mata memandang, semuanya terlihat hijau.

Akhirnya mobil memasuki jalan alternatif di sebelah kiri, menembus pemandangan asri kabupaten Sukabumi. Angin yang kencang membuat suasana sedikit menegangkan. Hilmi yang berada di motor menutup kaca helmnya karena pasir dari jalanan masuk ke mata.  Laki-laki dengan setelah serba hitam itu menghentikan laju motor, matanya perih dan memerah. Dia kehilangan jejak.

"Ah!" Perih pada mata masih Hilmi rasakan. Dia lalu mengeluarkan ponsel, melihat beberapa log panggilan sampai satu jam terakhir. Perjalanan ke sini membutuhkan waktu sekita satu jam? Hilmi tak percaya. Dia memberikan lokasi terkini dirinya pada Azfer yang beberapa saat lalu memberinya pesan.

Hilmi menaiki lagi kendaraannya, mengikuti jalan utama yang masih berupa tanah merah. Kering, tentu saja. Dia kesal karena matanya masih merasakan hal yang sama seperti tadi. Namun, jika berdiam di sini saja bukan pilihan juga. Sharah pernah membantunya sekali, kali ini biar dia yang membantunya. Jempol itu menekan starter lalu motor itu menyala. Siap melanjutkan perjalanan.

Setelah lima belas menit motor yang dikendarai Hilmi melaju, dia menemukan dua jalur. Pilihan yang sulit saat keduanya tidak memiliki jejak yang sama, apa lagi Hilmi bukan polisi yang bisa membedakan keduanya dalam sekali lihat. Dia akhirnya memilih jalan ke arah kanan. Tidak ada kepastian.

Jalan yang diambil Hilmi datar-datar saja, sekiranya jika di depan tidak ada jalan yang curam. Namun, takdir berkata lain. Jalan yang bisa dimasukin satu mobil dan motor itu terlihat curam. Hilmi ingin berbalik karena dirinya tak pandai memakai kendaraan, tapi—

"O!" Suara itu berada di bawah sana, hanya terdengar gema. Hilmi mengambil jalan yang benar. Dia mewanti-wanti kendaraannya dan turun ke bawah. Jalanan berbatu membuat Hilmi kesulitan, tetapi dia tak berhenti dan terus menerobos meski rodanya terseok. Setelah menghadapi jalanan itu, motornya dihadapkan dengan tanjakan berbatu pula. Mustahil orang-orang yang menculik Sharah tidak mendengar suara motornya.

Ada gubuk, bilik-biliknya sudah mengerikan. Sharah masih tertidur di sana. Hilmi melihatnya dengan jelas. Lalu, ada laki-laki berbadan tegap yang sedang menelepon. Postur tubuhnya menandakan laki-laki itu bukan pria muda seperti Hilmi. Dugaan Hilmi atas Azfer benar adanya, laki-laki itu mungkin sedang menghubungi Azfer.

Hilmi meninggalkan motornya di atas, memilih berjalan kaki untuk menemui Sharah. Pilihan terbaik agar tidak mengganggu si Penculik yang entah apa alasannya membawa seorang gadis kemari. Hilmi belum melihat celah untuk bisa menghampiri Sharah, malah matanya menangkap tubuh laki-laki itu mendekati Sharah dan hendak menyentuhnya. Baru saja hendak berdiri, Hilmi seketika mematung. Bukan pelecehan, batinnya.

"O–om ...," ucap Sharah lirih, obat bius masih mengontrol tubuhnya. "Om, kan?"

"Iya, Nak. Ini Om." Laki-laki itu menatap lurus ke arah Sharah.

Om? Laki-laki itu omnya Sharah? Hilmi tak percaya dengan pendengarannya. Sekali lagi Hilmi berniat mendekat, tetapi suara mobil menghentikannya dan dia berbalik. Azfer keluar dari mobil itu dan langsung menghampiri laki-laki yang kini—

"Berhenti di tempat!" Laki-laki itu meringkus Sharah dan menempelkan mata senjata tajam di leher gadis itu. Hilmi mengambil jalan untuk sampai di gubuk.

"Jangan lakukan itu," pinta Azfer. Dia tetap di tempat seperti yang diminta laki-laki tadi. "Apa yang kau inginkan, bisa kita bicarakan baik-baik."

"Aku menginginkannya!" sanggah laki-laki yang tadi Sharah panggil Om itu menusuk ke arah lehernya. Darah keluar dari goresan kecil itu.

"Dia keponakanmu, Azof"

"Dia yang membunuh kakakku! Ibunya sendiri!" Dia semakin keras menekan pisau itu di leher Sharah.

Hilmi yang mendengarkan tak percaya. Dia berhenti untuk tidak ikut campur urusan itu. Di samping gubuk hingga dapat melihat seluruh manusia yang ada di sana, Hilmi merasakan sesak.

"Di–dia masih di bawah umur sa–saat itu, Zof. Dia belum tah—"

"Ya, kau tidak memberi tahunya!" Seluruh tubuh Azof hilang kendali. "Aku merasa bersalah karena dekat dengan Ayna. Anakmu ini berpikir ibunya selingkuh, ah, ibu tirinya."

"Bahkan dia tidak tahu jika ibu tiri yang dimaksud adalah ibu yang melahirkannya." Azof menghela napas. Sharah yang berada dalam dekapannya sontak membuka mata lebar. Ibu kandungku?

"Bagaimana bisa seorang anak berpikiran untuk membunuh, Fer?" tanya Azof pada Azfer yang sangat merasa bersalah.

"Dia anakku. Aku merawatnya dengan salah. Dia hanya tahu kalau ibu yang merawatnya ibu kandungnya. Dia hanya tahu Ayna adalah ibu tiri pengganti ibunya yang telah meninggal." Azfer tak dapat lagi membendung air matanya. "Aku tidak tahu kalau kebaikan Ayna ternyata salah di mata Sharah."

"Tetap saja, seharusnya darah lebih kental dari pada air." Azof mengayunkan mata pisau itu, melukai Sharah lebih banyak. "Maaf, aku hanya tidak ingin dia begitu hidup tenang dengan membenci ibunya."

"Tolong ...," pinta Azfer dengan air mata yang semakin deras.

Hilmi yang semakin sesak nyaris pingsan, telinganya mendengarkan, tetapi otaknya memutar semua kenangan lama yang pernah dia bicarakan. Ya, dengan Sharah dia membicarakan tentang mimpi. Mimpi yang mudah untuk digapai, tetapi sulit untuk dilakukan karena sebuah pengorbanan biasanya tak cukup sekali. Harga yang harus dibayar kala itu adalah kenangan menyakitkan dan mimpi berkepanjangan. Hilmi menangis.

"Melepaskan belenggu pada orang-orang yang menyakitimu. Buat mereka menghilang atau bahkan tak ditemukan!"

ORESTES [Bukan Kutukan Bunga Tidur] - TamatTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon