Tajuk 19: Kenyataan II

13 4 5
                                    

Jakarta, 30 Desember 2010

Ziya seharian ini berdiam diri di pojok kamar dengan satu tangan menekan perutnya. Wajahnya yang pucat juga meringis menahan sakit, mata terpejam, giginya direkatkan, terkadang menggigit bibirnya sendiri. Lampu kamar yang padam, membuat Ziya sedikit ketakutan. Kata-kata yang dilontarkan ibu dua anak itu sama sekali tidak jelas. "Hi ... hi."

Cahaya matahari sore hari masih menyinari kamar yang singgahi Ziya saat itu. Dia di rumahnya sendiri, tetapi terkurung dalam sangkar yang bahkan terbuat dari kayu, kapan saja bisa runtuh dan melukai tubuhnya. Ziya menangis tanpa suara, menahan sakit pada perut dan hatinya yang tak bisa lagi dia tahan.

"Hilal ...," panggilnya. Anak laki-lakinya tengah pamit mencari pekerjaan seharian ini. Ziya menangis lagi.

"Ziya!" teriak Hadyan dari luar kamar. "Ziya!"

Ziya menutup matanya, berharap mimpi-mimpi ini segera berakhir. Dia ingin terbangun seperti biasanya suatu pagi, sang suami yang menyapa lalu mencium keningnya kemudian dia mengurus kedua anaknya yang beranjak dewasa.

Setelah dobrakan keras pada pintu, Ziya tak bisa lagi menutup mata. Apa lagi saat suara itu membentaknya tanpa ampun. "Ziya! Ngapain aja kamu? Aku panggil dari tadi, bukannya nyaut malah diem di situ. Buruan!"

Ziya tak sanggup untuk berdiri saja sulit. Bukan, untuk berbicara saja Ziya tak mampu. Hadyan hendak meninggalkan ruangan, tetapi kembali lagi saat melihat Ziya yang sangat pucat. Laki-laki penjudi itu mendekat ke arah Ziya.

"Kena—" Hadyan melihat tangan yang menekan perut istrinya. Dia meraih tangan itu, meski sulit akhirnya tangan itu terlepas juga. Hadyan membuka paksa baju istrinya dan tidak melihat bekas luka.

"Chh! Segitu aja sakitnya kayak apa?" Dia menurunkan baju istrinya kasar. "Udah, buruan bangun! Bikinin aku makanan, lapar."

Tak bisa berkata-kata lagi, Ziya hanya diam. Mungkin jika suaminya memukul sekali lagi, dia akan mati rasa dan kemudian mati. Ziya tersenyum sambil menangis karena anak laki-lakinya telah pulang.

"B–bu, Nu–nudia ada di depan rumah, Bu!" ungkap Hilmi membuat Ziya terkejut. Meski dia tak bisa bangkit, tetapi dia memaksakan kehendak.

"Ibu kenapa?" Hilmi melihat ibunya bahkan tak bersuara. Tangan kiri ibunya menekan kuat bagian tengah perut. Tak bisa menolak perlakuan Hilmi, Ziya hanya menangis.

Hilmi menatap kosong pada ibunya. "Sakit banget, ya, Bu?"

Tangisan Ziya semakin menjadi, masih tanpa suara. Hilmi memeluknya erat. "Hilmi minta maaf, Bu! Hilmi enggak bermaksud ninggalin ibu sendirian. Bu ...," jelasnya seraya menangis. Dia memeluk kuat ibunya. Bersumpah akan menghancurkan manusia yang telah menyakiti ibunya. Dia akan membuang mayatnya sampai tidak ditemukan.

"I–ibu pengen li–liat a–adik–mu!" Hilmi mengangguk disertai senyuman. Dia mengangkat ibunya, tetapi suara teriakan menghentikan langkahnya. Ibunya pun terpekik dan keduanya terpaku beberapa saat. Hilmi berlari dengan kehati-hatian karena sang ibu berada dalam gendongannya.

"Ampun ayah!" Nudia tengah bertekuk lutut di hadapan sang ayah. Melihat itu, Hilmi murka.

Hilmi menurunkan ibunya di kursi ruang tengah.

"Nudia!" teriak Hilmi, "Berdiri, Nud."

"Ibu?" Nudia menatap ibunya tak percaya. Begitu juga Ziya, dandanan Nudia kini menjadi seperti orang dewasa yang tidak seharusnya. "Ibu ... ibu ...." Nudia bergerak terus mendekati ibunya.

"Kurang ajar! Balik ke sana kamu!" Hadyan akan menghardik Nudia dan memukul anaknya itu. Tangan Hilmi lebih dulu mencekal lengannya.

"Berani Ayah menyakiti Nudia atau Ibu, aku enggak akan segan-segan." Matanya berkabut, amarah yang menyelimutinya begitu besar. Hati yang sakit.

Nudia dan Ziya berpelukan. "Maafin Nudia, Bu. Nudia minta maaf udah ninggalin Ibu." Nudia mengusap punggung ibunya perlahan-lahan agar kerinduan mereka tersalurkan.

"I–ibu yang mi–minta maaf, Nak. Ibu hanya bisa melahirkanmu rupanya." Ziya menangis syahdu. Keluarganya yang dulu dipuji kini berantakan. Hancur lebur.

Hadyan masih diam karena tatapan Hilmi yang tidak seperti biasanya. Kemarahan. Laki-laki yang menginjak usia kepala lima itu tak bisa menyembunyikan kemarahannya. Dia memaksa Hilmi untuk melepaskannya, tetapi pegangan anak itu terlalu kuat.

Ponsel Hadyan berdering memunculkan satu nama yang membuatnya bergetar lalu menatap ke arah Nudia. Tatapan ingin menerkam.

"Nudia!" bentak Hadyan. Lepas tangan Ayah, Hil, dia harus kembali ke tempat Bang Yasa!"

"Kalau dia bisa keluar kenapa harus kembali?" Tatapan Hilmi tak kalah garang.

Hadyan yang takut kalau Bang Yasa dan antek-anteknya datang lagi ke rumah atau memukulinya, tak berpikir ulang akan kemarahannya. Tangan kanan yang masih memegang ponsel geram dan melemparkan ponsel itu sekencangnya pada Nudia, tetapi Ziya menarik Nudia agar tertunduk. Alhasil kepala Ziya yang terkena lemparan bengis itu.

Darah segar mengalir dari kepala Ziya, Nudia dan Hilmi yang tak masih kaget atas kejadian yang menimpanya hanya memandang di tempat. Darah Ziya mengenai Nudia.

"Ibu!" Nudia menjerit, Hilmi mendekati ibunya perlahan. Hujan datang sebagai pelengkap kejadian tragis di rumah keluarga yang kata orang harmonis.

"Bu bangun, Bu. Nudia masih kangen sama Ibu. Ibu, Nudia enggak bisa tidur kalau enggak ada Ibu." Nudia histeris, sedangkan Hilmi masih berdiri, seolah-olah ribuan paku memaku tubuhnya untuk berada di sana. Matanya menahan air mata, meski akhirnya mereka berlomba keluar untuk menangisi kepergian miliknya.

"Kak Hilal, Kak Hilal! Ayok, Kak. Ayok bawa ibu ke rumah sakit, Kak." Nudia menggoyang tubuh Hilmi yang terdiam kaku.

Hadyan yang baru menyadari apa yang sudah dilakukannya, bergerak gusar. Di sisi lain dia masih takut pada Bang Yasa. Saat dia sadar bahwa pintu rumahnya terbuka, dia melihat seseorang yang tengah menatapnya waswas. Tubuhnya makin bergetar. Namun, dia mengenal sosok itu, tak lebih baik dari anggota keluarganya.

"Nudia! Kembali sebelum aku membunuhmu!" ancam Hadyan yang menarik lengan putrinya.

"Aku lebih baik Ayah bunuh dari pada harus kembali ke sana!" Nudia menantang. "Bunuh aku."

Hilmi yang masih menatap ibunya semakin marah mendengar perkataan ayahnya. Namun, saat hendak mendekati sang ayah tangan ibunya menyentuh kaki.

"To–tolong, to–to–long se ... lamatkan Nudia. I–i–bu mohon, Hil." Tangan itu bahkan sudah tak bertenaga.

"Hilal pasti selamati—"

Benda yang terbuat dari beling terdengar membentur tembok atau yang lain? Lalu terdengar suara jeritan. Kedua tangan Hilmi menutup kuping Ziya, janjinya tak akan pernah terpenuhi, dia menangis. Pun tubuh Ziya sudah terkulai lemas.

Hilmi ke dapur untuk melihat kejadian yang sebenarnya. Tanpa bertele-tele ayahnya yang sedang menelepon itu dia pukul dengan asbak yang ada di atas meja di dapur. Tempat di mana biasanya sang ibu memasak untuknya dan menyuapinya.

Hadyan yang meleng dan membuat Hilmi leluasa memukul kepala batu itu.

"Satu untuk ibu!" bentaknya di atas tubuh sang ayah.

"Dua, untuk Nudia! Tiga untuk pukulan pada ibu! Untuk pukulan pada Nudia! Kau pantas mati."

Hilmi terduduk dan memandangi tubuh sang adik yang bahkan belum bisa bercengkerama dengannya barang sedetik. Dia terjatuh lalu tertawa. Tawa yang membahana, tetapi penuh kesakitan.

ORESTES [Bukan Kutukan Bunga Tidur] - TamatWhere stories live. Discover now