Tajuk 6: Kenangan?

16 7 2
                                    

Sewaktu tertidur, aku bermimpi bahwa aku Tuhan. Lalu aku menjadi lupa, apa aku Tuhan yang sedang tertidur dan bermimpi menjadi manusia, atau manusia yang sedang tidur dan bermimpi jadi Tuhan. - Calvin Michel Sidjaja (cerita Tuhan Mati)

 - Calvin Michel Sidjaja (cerita Tuhan Mati)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Siapa kalian?" teriak Hilmi frustrasi. Kedua tangannya mengacak rambut dan mengusap kasar kepala belakang lalu pindah mengusap wajahnya. "Apa salahnya menunjukkan kenyataan? Membuatnya lebih jelas dalam satu kejadian? Hah?"

Kesal dengan semua yang terjadi, Hilmi mendorong dirinya untuk maju dan membalikkan tubuh tergelatak yang paling dekat dengannya. Sang ayah. Hilmi melepaskan tubuh dingin itu, menarik indera perabanya. Ketakutan dalam dirinya membuat badannya lemas.

Langkah kakinya mendekat pada sosok dengan rambut terurai dengan lambat. Sosok-sosok yang tak pernah terlihat jelas, selalu datang dengan keadaan yang sama, tetapi selalu tak dikenali. Hilmi ingin melihatnya walau sekali. Sekali saja.

Dia menyentuh jasad itu perlahan, merasakan kulit hangat yang masih mulus tak bernyawa. Hangat! Dengan sekali tarikan Hilmi memutar tubuh itu dan melihatnya. Seorang wanita dengan rambut yang terurai ke depan karena posisinya. Di pangkuannya, dia merapikan rambut itu dengan jari tengah.

Kemudian, dengan perlahan dia mendekatkan jari yang sama ke hidung wanita itu. Namun, tak ada napas yang berembus. Dari hidung dan dagunya, Hilmi bisa menangkap siluet jelas, apa kali ini?

Dia buru-buru merapikan rambut yang tersisa dan menatap wajah itu. "Haa—"

"Hilmi! Kamu bangun? Aih, syukurlah." Sharah menekan dadanya sendiri, mengistirahatkan debar jantung yang tadi sempat berpacu hebat.

Kecelakaan tidak terelakkan saat Sharah pergi dengan emosi tinggi meninggalkan sang ayah. Untunglah, jalanan pedesaan Kadudampit tidak seramai di Cisaat. Dia menabrak pohon pisang saat belokan dua arah karena terlalu menikung tajam. Pedal gas yang full membuat keduanya jatuh tersungkur. Siapa sangka Hilmi bisa pingsan dalam kejadian tersebut?

Warga yang lewat dan melihat kejadian itu membantu Sharah dan memberikan Hilmi minuman untuk menenangkan. Kaki kanan Hilmi terkilir dan berdarah pada lutut sampai tulang keringnya.

"Maaf. Enggak apa-apa, 'kan?" tanya Sharah khawatir saat melihat celana jeans Hilmi yang berlubang.

Anggukan Hilmi membuat Sharah tenang. Penyesalan dirasakannya saat terjatuh di motor tadi. Seharusnya, dia lebih mengontrol emosinya dan menjauhkan dirinya dari sepeda motor. Keberuntungan kini berada dipihaknya, tetapi esok hari dia tak akan tahu apa yang akan terjadi. Dia bahkan tidak lancar mengendarai sepeda.

Hilmi menatap Sharah. Entah penuh harapan atau hal lain. Mungkin pertanyaan. Ayah Sharah tidak menyukai Hilmi, pria itu meminta dia untuk tidak bertemu lagi dengannya dan Sharah. Apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukannya sekarang? batin Hilmi bertanya.

"Mau istirahat dulu di rumah ibu?" Pertanyaan itu menyadarkan Hilmi dan Sharah.

"Eng—"

"Jauh enggak, Bu?" tanya Hilmi memotong jawaban Sharah. Pikiran penuh Hilmi membuatnya memutuskan sepihak.

"Enggak." Ibu-ibu tadi bangkit dan membantu Sharah untuk memapah Hilmi.

Mereka pergi ke rumah di seberang jalan. Rumah khas masih berdindingkan anyaman kayu. Bilik. Hilmi dan Sharah duduk di depan, duduk di atas bambu-bambu yang diikat jadi satu. Khas bangunan jaman dulu.

"Shar?"

"Oy!" sahut Sharah.

"Ingat rumah vila pas kita tetanggaan dulu?" tanya Hilmi dengan wajah serius. Ekspresi serius itu semakin menghilangkan paras jenaka yang seharusnya dimiliki Hilmi.

"Eng ...," gumam Sharah. "Inget, emang mau ngapain?"

"Kita ke sana!" tegas Hilmi.

Belahan bumi mana yang serupa Jakarta

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Belahan bumi mana yang serupa Jakarta. Tempat paling ramai di Indonesia karena merupakan ibu kota, sekaligus salah satu kota besar. Para perantau yang bekerja di kota ini tidak sedikit mempunyai alasan yang sama. Mencari pundi rupiah. Namun, ada apa dengan kedua keluarga yang memilih untuk pindah di kota besar ini dan memilih ke tempat pedesaan.

Hilmi dan Sharah menapaki bumi panas ini untuk alasan yang ingin mereka cari, kebenarannya. Kebenaran dalam hal apa pun yang memberi mereka perasaan lega dan melepas beban, memenuhi dahaga agar rasa kehidupan tak hampa.

Begitu mereka sampai pada bangunan megah dalam bentuk lain. Sesuatu yang tak pasti, lagi, muncul ke permukaan. Bangunan itu luluh lantak tak tersisa bagaimana bentuk awalnya. Hanya satu yang mengingatkan mereka, gerbang jingga membentang dan halaman berhias ayunan mungil tempat mereka bermain. Selebihnya?

Sharah berdiri dekat dengan ayunan kayu. Jika angin menerpanya sedikit kencang, dudukan itu bergerak dengan ritme teratur. Hilmi yang berada di belakangnya masih menerka-nerka, hal apa yang masuk ke dalam ingatannya dengan melihat bangunan roboh ini.

Reruntuhan yang tercipta jelas. Dan—

"Hilal!"

Mendengar itu Hilal menggeleng, menyadarkan dirinya untuk kembali ke alam sadar yang hendak membawanya ke dasar paling bawah.

"Iya Sha—"

Bukan main, Hilmi merasa dirinya kembali ke alam bawah sadar secara sengaja. Wanita yang memanggilnya itu bukan Sharah yang biasa menyebutnya dengan panggilan itu. Wanita itu orang lain, dan anak laki-laki yang dikejarnya adalah Hilmi.

Hilmi lari, mengikuti arah anak itu dan mendekati wanita tadi.

"Makan dulu, Nak. Ibu udah siapin makanan kesukaan kamu. Yuk!" ajak sang ibu.

Ibu?

Hilmi terus berlari kecil menaiki undak tangga yang tersusun lima. Lagi-lagi dia berharap ini bukan mimpi, tetapi sebuah ingatan nyata yang pernah hilang. Ibuku? Hilmi terus bergumam.

"Hilmi!"

Secara tak sadar, dia berhasil menghilangkan kenangan itu dalam sekejap.

ORESTES [Bukan Kutukan Bunga Tidur] - TamatWhere stories live. Discover now