Tajuk 15: Mempertemukan!

8 4 4
                                    

Semilir angin yang masuk melalui celah-celah pintu dan jendela menambah rasa dingin pada keringat yang hampir memenuhi seluruh wajah Hilmi. Keningnya memunculkan kerutan kala laki-laki itu meringis, kepalanya tak bisa berhenti bergerak walau beralur lambat. Gigi-giginya dia rekatkan satu sama lain hingga menimbulkan bunyi. Bunyi ngilu saat orang lain mendengarnya.

Tangan yang masih memegang kertas mengetat, seolah-olah berpegangan pada tiang kokoh saat akan terjatuh. Sekuat itu. Kedua mata terpejam, sulit rasanya hanya untuk mengangkat kelopak mata. Seluruh tubuhnya ikut bergetar, kaki yang dibiarkan selonjoran pun ikut merasakan, bagaimana ketakutan yang dialaminya bahkan saat dia tengah tertidur.

Namun, tidak lama kemudian kelopak itu membiarkan sesuatu yang dijaganya terbuka. Bola mata itu jelas membulat sempurna, bersamaan dengan napas pendek dan cepat disertai dengan cucuran keringat. Hilmi terbangun dari tidur singkatnya, keadaan tak bisa menjelaskan apa yang dia rasakan saat ini. Bahkan angin yang membantu mendinginkan tubuhnya kala suasana panas menyengat, tak dipedulikan.

Hilmi bahkan tidak sadar kalau seluruh tubuhnya basah. Dia bangkit dan memperhatikan seluruh tubuhnya, terutama bagian bawah. Hilmi lari ke arah kamar, dirinya langsung menghadap cermin yang berhias ukiran kayu, milik neneknya. Di menatap dengan lekat wajahnya sendiri, menyentuh dari rahang, pipi, pelipis, mata, sampai ke kening.

"Benarkah itu aku?" tanya Hilmi pada cermin. Napasnya yang masih belum teratur, terdengar lebih bergemuruh. "Enggak mungkin, kan? Itu cuma halusinasi, iya kan?"

Hilmi membuang wajahnya, menghindari cermin dan duduk di kasur. "Enggak mungkin pasti." Hilmi menenangkan dirinya terlebih dahulu, membuat napas menjadi lebih teratur dan dia berhasil mengontrol emosi.

Aku harus menemukan sesuatu yang hilang untuk melengkapi hal yang seharusnya aku ketahui, batinnya. Hilmi menjatuhkan tubuhnya kembali ke ranjang untuk melanjutkan apa yang tadi terganggu. Dia harus kembali tertidur untuk bersemangat mencari tahu tentang segalanya.

"Sharah." Hilmi bergumam sebelum lelahnya kembali menyelimuti. "Mungkin aku memang membutuhkanmu!" Bersamaan dengan kelopak mata kembali menjaga retina, suara itu juga kembali ditelan malam.

Malam yang hampir menghantui atau mungkin memang selalu menggetayangi. Malam yang seolah-olah hidup bersama untuk merajut mimpi, tapi ternyata mewujudkannya saja seakan-akan tidak akan pernah terjadi. Begitulah malam yang selama ini menemani dan Hilmi menyadarinya, malam yang seharusnya tidak ditakuti, tetapi Hilmi mengingkarinya.

Pagi-pagi sekali, pagi yang sebelumnya tidak pernah ia jamah kecuali bercengkerama dengan seseorang yang dia kenal, itu pun dengan posisi terbaring di atas ranjang dan netra yang sulit bertukar sinar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi-pagi sekali, pagi yang sebelumnya tidak pernah ia jamah kecuali bercengkerama dengan seseorang yang dia kenal, itu pun dengan posisi terbaring di atas ranjang dan netra yang sulit bertukar sinar. Namun, kali ini, pagi yang benar-benar cerah juga harapan besar pada secercah cahaya wanita itu sudah siap akan pergi.

Sharah memakai dress selutut bercorak. Pakaian yang membuatnya terlihat lebih muda dari usianya yang sudah lebih dari seperempat abad. Rambut yang memanjang dua senti itu diikat ke belakang dengan membentuk sebuah gulungan, ikat rambut warna peach senada dengan baju yang dikenakan, membuat penampilannya terlihat elegan.

Tanpa pamit pada sang pemilik rumah, Sharah bergegas ke tempat yang sudah mereka sepakati hari ini. Sharah akan bertemu dengan Hilmi. Laki-laki itu meminta bantuannya seperti yang pernah Sharah tawari tempo hari. Wanita itu tersenyum bangga. Mereka akan kembali bertemu dengan suasana yang mungkin mendukung. Kesampingkan pemikiran Sharah.

Sharah sudah tiba di alun-alun kota Cisaat setelah turun dari angkutan umum. Dia banyak ditawari beraneka mainan khas dan makanan atau yang sering disebut jajanan memanjakan mata. Namun, target utamanya adalah bertemu dengan Hilmi. Teman masa kecil, sekaligus partner terbaik di masa lalu. Mungkin, seingat wanita itu sambil tersenyum sendiri.

Dari sekian banyak orang yang tengah lalu lalang, bahkan Sharah tidak sadar akan apa yang mengintainya. Seseorang dari arah belakang memeluknya seakan-akan akrab dan tidak bertemu lama, tetapi yang dilakukannya adalah menyuntikan sesuatu di leher Sharah dan kesadaran wanita itu menjadi setengah-setengah. Seperti mabuk berat setelah meminum minuman keras.

Sharah yang matanya merem melek berusaha menyadarkan dirinya dan melihat pada sekitar. Laki-laki yang tadi memeluk tubuhnya tanpa permisi ada di hadapannya, tetapi dia gagal mengenali bersamaan dengan tangannya yang ditarik untuk menjauhi keramaian. Tentu saja Sharah tidak mengikuti kemauan orang yang menyeretnya, tetapi berusaha menghempaskan dirinya yang ternyata semakin pusing dan pandangan menjadi kabur.

Hilmi datang setelah kejadian itu berlangsung, laki-laki yang memburu informasi itu beranggapan bahwa Sharah belum datang. Seperti halnya wanita dengan segala tetek-bengeknya yang mengharuskan sosok mereka tampil cantik saat keluar rumah. Hilmi juga memikirkan itu. Dia akan menunggu saat sosok itu berada di hadapannya dan info yang dia keluarkan valid.

Namun, menunggu bukan cara yang semua orang bisa lakukan. Hilmi tidak suka dibuat menunggu terlalu lama meski kebutuhannya benar-benar menunjang. Dia tidak suka menunggu apalagi seseorang yang ditunggunya seperti yang ada di pikirannya. Berdandan agar terlihat menawan bukan salah satu alasan untuk mengingkari waktu yang telah ditetapkan.

Hilmi mengeluarkan ponsel pintar dari saku jaket Sebelah kanan, jempolnya menekan pinggirannya lalu menggeser layar dengan pola yang mudah, mengusap layarnya ke sana ke mari dan sesudahnya menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Menunggu beberapa saat sampai operator yang menjawab panggilannya.

Sial! Hilmi merasa dibodohi. Namun, ketika hendak memutar jalan pulang. Dia melihat kendara mobil yang di dalamnya melihat Sharah.

ORESTES [Bukan Kutukan Bunga Tidur] - TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang