Tajuk 10: Spesial!

10 5 1
                                    

Orang-orang dewasa tertawa di ruang tengah, membicarakan hal-hal menggelitik. Selagi tv menyala anak-anak yang gemar menonton, mata mereka hanya fokus pada gambar dan suara yang bergerak. Tidak peduli sekitar, ke tujuh manusia yang dipersatukan dengan nama ikatan keluarga itu saling merangkul, yaitu keluarga Hadyan dan keluarga Azfer.

Hadyan dan Ziya, pasangan romantis yang memiliki dua anak. Bahagia. Para tetangga di sekitar mereka merasa cemburu dengan keluarga harmonis ini. Hadyan seorang pemimpin di perusahaan yang bijak, terkenal ramah, dalam kehidupan rumah tangganya dia dibantu sang istri tercinta, wanita yang memiliki hati lembut dan tidak membantah. Mereka saling percaya.

Kedua anak mereka, yakni Hilal dan Nudia. Selisih umur mereka yang hanya terpaut tiga tahun itu membuatnya terkenal akrab, pun mereka mengikuti sifat ibunya. Lembut dan penurut. Dalam keluarga yang seimbang, orang lain mengagumi dan menginginkan hal yang serupa. Namun, sesuatu tidak ada yang sempurna dalam urusan rumah tangga. Tidak!

Ada Azfer, seorang polisi berpangkat letnan yang selalu berpindah-pindah rumah disesuaikan dengan tugas yang ia emban. Saat ke Jakarta, dia bertemu Hadyan yang ramah dan mulai akrab. Ayna, sang istri yang selalu berpakaian modis itu juga mudah akrab. Apalagi sang putri tunggal mereka. Kecantikannya membuat semua orang yang melihatnya terpana.

"Besok libur, 'kan, Fer?" tanya Hadyan memulai pembicaraan yang lain.

"Em. Iya, Yan. Besok 'kan weekend!" ujarnya semangat.

"Gimana kalau kita jalan-jalan?"

"Ide bagus, tuh. Tempat apa yang belum kita kunjungi?" sela Ayna.

Mereka pun melanjutkan obrolan itu sampai tujuan menjadi jelas. Kedua keluarga mendapat kesepakatan, Azfer hendak pulang.

Sesuatu yang terasa sempurna, semuanya terlihat harmonis, tentu dari fondasi ikatan yang kuat. Hadyan menatap istrinya dan kedua anaknya yang tidur di ruang tengah. Laki-laki dengan balutan kaos hitam bercelana pendek khas rumah itu, menghampiri keluarganya. Pertama membangunkan Ziya, agar tak membangunkan anak-anak. "Ayok, tidurnya di kamar. Mas pindahin anak-anak dulu."

Ziya mengangguk dengan mata terpejam. Sebelum dibawa Hadyan, dia mengecup kedua anaknya lalu berdiri dengan tertatih. Menyeimbangkan seluruh badan untuk dapat beranjak ke kamar yang tepat di hadapan. Ziya menengok ke belakang sekali lagi. Melakukan isyarat pada Hadyan, menyunggingkan senyum. Lalu meraih pegangan pintu, membukanya, masuk, dan langsung memeluk kasur.

Hadyan merangkul Hilmi, hendak memindahkannya lebih dulu, tetapi kelopak mata anak itu terbuka. Hilmi mengucek matanya dan tersenyum. "Aku bisa jalan sendiri, Yah! Ayah bisa pindahin Nudia aja." Anak jagoannya bangun dan berdiri lebih dulu sebelum melanjutkan, "Hilal udah berat kayaknya." Sambil tersenyum dengan gigi Pepsodent-nya Hilmi berlalu. Memandu ayahnya untuk ke kamarnya dan Nudia.

"Anak jagoan Ayah udah berapa tahun?" tanya Hadyan pada Hilmi yang masih berjalan sambil menggendong anak gadisnya.

"Sepuluh, Yah!"

"Udah gede, ya, ternyata?" ejek Hadyan.

Hilmi berbalik, ekspresi wajahnya mengerut disertai mulut yang dimajukan lalu menjawab, "Enggak segede Ayah, wleee!" Hilmi berlari ke kasurnya saat mereka sampai.

Hadyan menempatkan dengan hati-hati tubuh putrinya. Tangan kanannya menjatuh kaki, lalu tangan kirinya membenarkan kepala. Setelahnya dia menarik selimut untuk menutupi tubuh kecil itu.

"Dia enggak suka pake selimut, Yah!" Hilmi melontarkannya saat dia berbalik menghadap kasur adiknya.

Tak lama kemudian, Nudia menggerakkan kakinya untuk menurunkan selimut itu. Menjauhkan sebuah kain tebal berbulu dari tubuhnya yang seolah-olah menjadi kepanasan. Lalu posisinya berubah drasti menjadi telungkup. Hadyan hanya tersenyum melihat kedua anaknya.

"Ayok tidur lagi. Ayah juga mau tidur!"

"Iya, Yah!" sahutnya. Tak lama kemudian Hilmi mendengar sesuatu. "Dek ish ngoroknya!"

Jakarta, Desember 2001

Terkutuklah, Mang Udung! umpat Hilmi saat dirinya mendapat ejekan di pagi hari

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Terkutuklah, Mang Udung! umpat Hilmi saat dirinya mendapat ejekan di pagi hari. Siapa lagi kalau bukan laki-laki yang berdiri di depan BPJS dengan kerjaan mengaduk nasi. Untunglah suasana belum ramai saat ejekan itu terjadi. Tanpa ba-bi-bu Hilmi memasuki kawasan pekerja dan mengambil perlengkapan kerjanya.

"Eh, ke mana aja dirimu selama tiga hari?" tanya Aji yang datang lebih dulu darinya. Aji, teman seprofesi yang menjaga di dalam kantor sekaligus tempat bercerita yang Hilmi rasa cocok dengan karakternya.

"Kang Aji masih inget mimpi yang Hilmi omongin?"

"Mimpi aneh pembunuhan?" tanya Aji meyakinkan. Hilmi mengangguk cepat. "Tentu, mana bisa aku lupa cerita mimpimu, Hil."

"Kalau mimpi itu jadi berubah karena bertemu seseorang, apa ada hal lain, Kang?" Hilmi menatap Aji serius.

"Mungkin itu ingatan yang terlepas?—" Aji menghentikan pembicaraannya yang mungkin menjurus pada hal yang tidak diinginkan Hilmi. "Maksud Aji, siapa tahu pas ketemu mimpi itu, orang yang baru itu kenal kamu."

"Heem. Wanita itu teman masa kecilku, Kang. Tapi rasanya aneh, ada apa dengan mimpi-mimpi sebelumnya?" Hilmi beralih dan duduk di sebelah Aji. "Orang tua Himi udah meninggal."

Aji terperanjat. "Jadi kemarin enggak masuk gara-gara nyari orang tua? Kenapa enggak bilang? Aku kan bisa bantu cari juga. Btw, yang sabar ya!"

"Maaf. Segalanya serba mendadak. Semua halnya jauh dari perkiraan." Hilmi termenung. "Aku pengen punya ingatan tentang mereka sebelum mereka pergi. Begitu."

"Sabar, Bro! Ini takdir yang emang udah diatur. Kita enggak tahu 'kan mana yang bermanfaat bagi kelanjutan hidup kita. Kalau misalnya dirimu tahu ibumu mati karena apa, bisa jadi kamu enggak seenjoy ini di masa mendatang. Enggak mau, kan?"

Hilmi mengangguk. "Makasih, Kang."

"Sip, ayok. Waktunya kerja."

Mereka keluar bersama dan menjalani rutinitasnya lagi. Meski Hilmi mengiakan nasihat Aji, dia masih memiliki harapan bahwa yang tersembunyi bisa terkuak.

ORESTES [Bukan Kutukan Bunga Tidur] - TamatWhere stories live. Discover now