Tajuk 13: Informasi Jelas

10 6 3
                                    

Sharah pulang dengan napas yang terbuang sangat banyak, tidak teratur. Berharap pompa kerja jantungnya perlahan rileks kembali, tetapi ternyata tidak begitu. Meski sudah menenggak beberapa gelas, tubuhnya merasa lelah. Sebenarnya ngapain juga gue lari? Toh, bokap juga pasti masih jauh di belakang. Bodoh, Shar! batinnya menggerutu. Dia menjatuhkan dirinya ke ranjang, menunggu hingga ayahnya datang.

Dua jam telah berlalu, kelopak mata wanita itu sudah tertutup sempurna. Meninggalkan dengkuran kasar yang disebabkan pelariannya tadi. Belum terdengar suara motor meski isya sebentar lagi menghampiri daerahnya. Pemilik tubuh itu berbalik ke samping kanan, lalu ke samping kiri, sekali-kali menggaruk tangannya, dan kembali mendengkur.

Sharah membuka sedikit demi sedikit kelopak matanya. Tangan kirinya mengucek kedua mata berusaha membersihkan kotoran bekas tidurnya. Tangan kanan yang tidak melepas ponsel pintarnya membuka kuncinya. Pukul setengah delapan. Dia buru-buru keluar untuk menemui sang ayah. Gerakan cepat yang tidak disadarinya membuat matanya dipenuhi kunang-kunang. Sial banget! ketusnya.

Tubuh tegak itu menyentuh kembali ranjang. Sharah duduk untuk menetralkan pandangannya dan memberi kebebasan untuk kepalanya yang berdenyut. Dia melamun, mengingat ekspresi terpukul Hilmi dan ayahnya. Bukan urusan gue, ish! Dia bangkit, lalu mengikat rambutnya yang tergerai dan mencium aroma tak sedap. Kepalanya mendekat ke arah ketiak kanan yang tangannya masih menyentuh rambut.

"Aku lupa enggak mandi dulu, ah!" Sharah bergegas mengambil handuk di halaman belakang tempat berjemur pakaian dan berhambur kembali ke kamarnya untuk mandi. Dia tak melihat ayahnya selama perjalanan itu. Bukan sekadar asumsi, dia yakin ayahnya belum ada di gubuk tercinta ini. Dia fokus mandi dan bersenandung ria. Menyanyikan lagu One Last Time-nya Ariana Grande yang berdendang riang di kamar mandinya.

Sharah menghela napas saat dirinya sudah rapi, tetapi perut rampingnya itu keroncongan. Tangannya menggerayangi meja makan, kitchen set, dan kulkas, persediaan yang benar-benar tipis dan tak terlihat membuat dirinya merenggut. Belum lagi tidak ada yang bisa membantunya.

"Ayah bawa makanan." Azfer melangkah masuk sambil menenteng keresek hitam yang berisi nasi goreng.

"Dari mana aja Ayah?" Pertanyaan pertama Sharah yang membuat Azfer melotot.

"Ada apa dengan si pemberontak?" ejek sang ayah. "Bukannya kamu tahu ayah di mana?"

Sharah membulatkan matanya dan mendengkus tak percaya pada laki-laki tua dihadapannya. "Kenapa Ayah enggak bilang kalau tahu aku ngikutin Ayah?"

"Ayah panggil kamu udah kabur! Salah siapa?" Azfer melangkah maju yang berarti membelakangi sang putri. Ingin memasuki kamarnya.

"Sharah baru tahu kalau Ayah keluar dari kepolisian karena hal itu!" katanya merasa bersalah.

"Dan hal lainnya." Azfer berbalik sambil menegaskan kata-kata itu. Menyunggingkan senyum lelah seolah-olah beban yang bertumpuk tak bisa ia bagi.

"Ayah enggak mau bagi bebas sama Sharah?" tawar sang anak.

"Tentu. Tapi setelah kamu sadar arti dari beban itu sendiri!"

Pertemuannya dengan Hilmi, pendekatan Sharah membuat Azfer semakin lesu. Dia mengakhiri harinya tanpa makan dan mengurung diri.

Hilmi mengetatkan pandangan matanya dalam sistem pencarian berita yang berada pada layar di depannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hilmi mengetatkan pandangan matanya dalam sistem pencarian berita yang berada pada layar di depannya. Mencari informasi sedetail mungkin lewat bantuan dari Kang Aji di warnet terdekat. Hari Minggu siang, kedua laki-laki itu sudah membaca tujuh artikel, tetapi kurang valid menurut mereka. Entah apa yang sebenarnya Hilmi inginkan, tetapi dia tetap fokus pada pencariannya.

Aji sudah mual menghadapi layar selebar tv di rumahnya. Untuk laki-laki yang jarang memperhatikan layar kaca apalagi sedekat itu, pasti limbung di buatnya. Sesekali Hilmi meminta Aji untuk menyudahinya, tetapi dia menolak. Lantaran sudah setengah jalan dan laki-laki yang rambutnya gondrong itu tak mau usahanya tanpa hasil jelas.

"

Pembunuhan Berantai Tiga Keluarga"

Judul yang tertera di monitor membuat Hilmi langsung menggeser mouse ke bawah dan membacanya lebih lanjut. Namun, matanya fokus pada jam yang detiknya semakin menipis. Dua jam telah dilalui. Hilmi memblok semua tulisan yang diberitakan dan menyalinnya pada word yang tersedia. Dia juga menyalin berita tentang penurunan ketua polisi yang menangani kasusnya.

"Yah, mati!" Kang Aji ingin mencerca saat tulisan yang tengah dibacanya menjadi hitam seketika. "Kualat bener nasib."

Hilmi tersenyum mendengar kata-kata kukulutus (berbicara kesal (mencerca tanpa ada orang lain)) yang keluar dari mulut Kang Aji. Hilmi berdiri lalu bergerak ke arah penjaga warnet. Meminta bantuan untuk mencetak semua yang sudah dia pindahkan ke word.

Tentu saja hal mudah bagi mbak-mbak yang sekarang mengekori Hilmi menuju komputernya. Sesekali wanita itu mencuri pandang ke arah Aji dan tersenyum simpul, membuat Aji ngeri dan ikut berdiri.

Mereka selesai mencetak informasi itu. Dengan motor milik masing-masing keduanya berpisah karena jalur rumah mereka yang berbeda.

"Kalau butuh ke warnet cari yang deket rumah aja, Bro. Nyomplong sama Selabintana tuh lumayan kalau pulang pergi!" nasihatnya sebelum meninggalkan Hilmi sendirian.

"Hihi, aku enggak kenal siapa-siapa lagi soalnya, Kang. Bingung!"

Mau bagaimana lagi? Hilmi hanya bisa jujur. Mereka akhirnya berpisah saat keduanya saling mengangguk. Hilmi mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Mengambil rute terdekat untuk menuju rumahnya. Sebelum asar dia sudah sampai, begitu perkiraannya.

Hilmi mencoba mengatur ekspresi saat dilihatnya seseorang di depan pintu masuk. Dia melewati wanita itu dan memarkirkan motornya di dalam.

"Ehm!" Hilmi menelan kata-kata dan hanya memperhatikan Sharah.

"Enggak ganggu, kan?" tanya Sharah akhirnya. Mereka tersenyum canggung dengan alasan masing-masing.

Sharah memakai setelan celana jeans ukuran tiga perempat dan kaos lengan pendek yang panjang tubuhnya menutupi bokong. Setelan main anak muda zaman sekarang.

"Enggak. Masuk, Shar!" ajak Hilmi untuk duduk di dalam.

Sharah mengelilingi tempat tinggal Hilmi. Lumayan luas untuk seseorang yang tinggal sendiri. Namun sayang, tidak adanya hiasan di dinding membuat ruangan demi ruangan itu terlihat redup.

"Ehm—"

"Ayah udah bilang semuanya." Sharah memulai. "Lebih tepatnya aku udah denger semua kemarin. Maaf kalau aku curi-curi dengar."

Hilmi mengangguk.

Sharah melanjutkan, "Kalau Hilal butuh bantuan, aku siap buat bantu."

"Makasih, Shar. Tapi untuk saat ini Hilal lagi tenang sama suasana ini."

"Mau aku bantu cari informasi di mana ayah terakhir kerja?" Sharah menawari bantuan dengan mimik tulus. Namun, Hilmi tak mau merepotkan.

Hilmi menggeleng, isyarat penolakan paling lembut yang selalu diterima Sharah sejak masih kecil. Seingat Sharah. Laki-laki yang hanya menjaga adiknya, tanpa suka keluyuran dan patuh pada titah sang ibu.

Sharah juga ikut menggeleng. "Ok, deh." Dia bangkit, memutar tubuhnya agar langsung mengarah pada pintu. "Kalau berubah pikiran, aku ada kok di rumah!"

ORESTES [Bukan Kutukan Bunga Tidur] - TamatWhere stories live. Discover now