part 1

658 42 0
                                    

Sudah tiga tahun, semenjak kematian Cio. Kini, Nana sudah menjadi gadis dewasa yang pendiam. Benar-benar gadis pendiam, bahkan sudah tiga bulan ini, gadis itu tak berbicara, membuatnya seperti patung hidup. Bukan hanya tak berbicara, gadis itu juga seolah buta dan tuli. Mengabaikan semua orang yang ada di hidupnya.

Matanya yang sayu selalu menatap hampa, seolah tak ada kehidupan dalam dirinya. Pekerjaannya setiap hari, hanya menonton anime, menulis, makan, dan datang ke makam Cio. Waktu tiga tahun, tidak membuat luka dalam hatinya sembuh. Seolah, luka itu tak akan pernah sembuh.

"Na," panggil Zico pelan.

Ini untuk kedua kalinya, Zico masuk ke kamar Nana hari ini. Tak ada yang berubah, gadis itu masih sibuk dengan laptopnya. Bahkan getar ponselnya pun, tak mengusik aksinya yang tengah fokus dengan laptopnya. Pria itu menghampiri Nana dan memberinya sekotak martabak coklat. Entah dulu, atau pun sekarang, makanan itu masih menjadi favoritnya.

Nana menerima kotak itu dan mulai memakannya, tak ada  ucapan apapun dari dari gadis itu. Bahkan, terimakasih saja tidak dia ucapkan. Zico hanya tersenyum, pria itu sudah biasa mendapat perlakuan itu dari sang adik, dia paham jika kesedihan yang adiknya rasakan memang belum sembuh atau mungkin tak akan sembuh.

Nana makan dengan tenang, mengabaikan Zico yang saat ini sibuk menata rambutnya. Nana memang tidak pernah melarang Zico memasuki kamarnya atau pun menata rambutnya, selama itu tidak mengganggu aktivitasnya maka Nana tidak peduli.

"Martabaknya manis ya, Na?"

Nana masih fokus. Tidak memberikan reaksi apapun pada pertanyaan Zico.
"Manis kaya kamu," sambung Zico sembari terkekeh. Tugasnya menata rambut Nana sudah selesai.

Gadis itu terdiam. Entah dari mana datangnya, yang pasti dia mendengar sebuah bisikan di otaknya. Namun, suara bisikan itu begitu familiar di telinga Nana.

"Martabaknya manis, Na. Kayak lo."

"Cio," lirih Nana pelan.

"Hah?" Zico sontak menatap Nana. Sudah tiga bulan gadis itu tak berbicara dan sekarang dia mau membuka mulutnya. Namun, justru nama Cio yang gadis itu ucapan.

Tangan Zico mengepal kuat, tetapi wajahnya terus saja mengembangkan senyum. Dia sangat merindukan suara adiknya itu, sangat-sangat merindukannya.

Nana kembali diam. Dia menatap layar ponselnya lalu bangkit. Mengambil kotak makanannya yang tersisa setengah dan memasukannya ke dalam kulkas.

Pandangannya bergerilya ke seluruh ruang di kamarnya. Gadis itu berjalan singkat ke arah nakas. Tangannya terulur membuka setiap laci, entah apa yang gadis itu cari. Namun saat ini, tubuhnya sudah di penuhi oleh keringat. Tiga bulan hanya berdiam diri membuatnya menjadi orang yang mudah lelah.

Nana pasrah, dia sudah lelah jika harus mencari barang itu sendirian. Dia berbalik menatap Zico yang masih setia menemaninya.

"Bang, liat charger?" Akhirnya setelah sekian lama dia bungkam. Kini gadis itu berani bertanya. Hanya saja yang membuat Zico kesal adalah, kenapa harus karena sebuah charger yang menjadi alasan Nana berbicara? Padahal masih banyak pertanyaan lainnya yang bisa gadis itu tanyakan.

Zico bangkit lalu menghampiri Nana. Tangannya dia gunakan untuk membantu Nana kembali duduk. Wajahnya yang berkeringat membuat Zico tidak tega.

"Bentar, kakak ambil dulu."

Dengan cepat Zico keluar dari kamar Nana dan menuju kamarnya yang berada di samping kamar Nana. Mengambil charger miliknya lalu kembali ke kamar sang adik.

"Nih."

Nana menatap Zico lalu menggeleng. "Charger laptop," ucap Nana pelan.

Zico mengangguk dan kembali ke kamarnya, mengambil charger yang di minta oleh Nana.

Nana tersenyum saat laptopnya kembali menyala, setelah mengucapkan terimakasih gadis itu kembali menjadi gadis pendiam dan fokus pada laptopnya.

Pukul 15.00, waktu yang selalu Nana gunakan untuk pergi ke pemakaman Cio. Namun, kali dia sedikit terlambat dan membuatnya terpaksa tidak membawa apapun ke pemakaman.

Dengan semangat Nana melangkahkan kakinya. Namun, sudah lima belas menit gadis itu berjalan dia baru menempuh 3 meter dari rumahnya. Bahkan, bangunan yang dia tempati itu masih terlihat olehnya.

"Capek."

Nana memilih untuk beristirahat di sebuah halte yang dia lewati.

"Ko gue bego, ya. Kenapa harus jalan kaki? 'kan gue bisa minta anter bang Zi atau bawa mobil."

Ini untuk pertama kalinya. Nana merasa menyesal karena mendiami Zico. Dia pikir dirinya bisa hidup tanpa laki-laki itu seperti dulu. Namun nyatanya tidak.

Biasanya, Nana pergi ke pemakaman Cio menaiki taksi atau pun angkot. Namun, hari ini dia tidak memiliki uang cash sepersen pun. Uang dari Zico sudah dia habiskan untuk membeli paket data agar bisa menonton anime favoritnya.

Nana bukan tak memiliki uang, hanya saja semua uang dari kakaknya itu berada di dalam kartu kredit, dan Nana malas untuk sekedar menarik tunai.

"Hai."

Nana mendongkak saat seseorang menyapanya. Seorang pria berperawakan jangkung dengan alis tebal dan hidung mancung melambaikan tangan kepadanya. Nana masih diam, hanya menatap pria itu tanpa berkata apa pun.

"Mau ke mana? Mau aku antar?"

Mendengar kata 'antar' membuat mata Nana berbinar, dengan gesit Nana mengangguk dan mengikuti langkah pria itu.

Kini Nana sudah sampai di pemakaman. Namun, dia terus saja menyumpah serapahi pria yang mengantarnya itu. Pasalnya, pria itu mengantar dirinya dengan jalan kaki. Mungkin lebih tepatnya bukan mengantar, tetapi menemani Nana berjalan kaki.

Nana segera pergi ke makam Cio. Dia mengernyit heran. Ada yang aneh dengan makamnya. Di atas gundukan tanah itu ada sebuah bunga bahkan tanah makamnya pun basah.

"Mungkin mamah."

Tak ada yang Nana ucapkan lagi, dia hanya menatap makam Cio, sebenarnya Nana sudah mengikhlaskan Cio dari dua tahun lalu, hanya saja kebiasaannya menemui makam Cio sangat sulit dia hilangkan, dan itu yang membuat dirinya sulit melupakan sang sahabatnya itu.

Drtt! Drtt!

Nana menatap layar ponselnya kesal.

"Operator gak ada akhlaq, selalu aja nawarin promo kagak tau apa duit gue dah abis," cerocos Nana saat membaca pesan yang masuk ke ponselnya.

Pria yang tadi mengantar Nana mengernyit heran. Selama di perjalanan tadi, Nana terus saja mendiaminya, membuat dia berfikir bahwa Nana adalah gadis bisu. Namun, hanya karena sebuah pesan gadis itu mau berbicara panjang lebar.

"Benar-benar gadis aneh."

Nana bangkit, dia menatap pria itu tajam, gumaman pria itu cukup keras sehingga membuat sang empunya mendengar.

"Emm, kenalin nama aku Dimas."

Pria bernama Dimas itu mengulurkan tangannya. Namun, bukannya menerima uluran tangan pria itu, Nana malah meletakan sebuah daun. Jangan tanyakan apa maksud Nana, karena gadis itu sendiri tidak tahu apa alasannya melakukan hal itu.

Dimas menerima daun itu, dahinya mengernyit tak paham, tetapi dia tak berani menanyakan apa pun pada Nana.

"Kanara," ucap Nana lalu pergi meninggalkan Dimas yang masih mematung.

Kak, Aku Kecewa (Tamat)Where stories live. Discover now