part 2

480 32 0
                                    

Sudah lebih dari sepuluh kali Nana menekan bel rumahnya. Namun nihil, tak ada seorang pun yang membukakan pintu untuknya, padahal di rumahnya itu lebih dari sepuluh orang yang tinggal.

Karena lelah Nana lebih memilih untuk duduk sebentar, mengambil benda pipih dari saku celana, dan mulai mengotak-atik benda tersebut.

Nana kembali bangkit, kali ini dia mencoba membuka pintu rumahnya dan hasilnya pintu itu pun terbuka membuat Nana menganga tak percaya. Dengan kesal dan malas gadis itu berjalan memasuki rumahnya.

Sepi, satu kata yang cukup menjelaskan suasana di rumahnya. Meski rumah dua tingkat itu di huni oleh puluhan orang. Namun nyatanya, tak membuat rumah itu menjadi ramai.

Nana sudah terbiasa sendirian sejak dulu, dan itu membuatnya merasa nyaman meski selalu kelilingi oleh kesendirian.

Nana bukanlah gadis manja, selama dia diberi makan, WiFi, dan uang. Maka hidupnya sudah tentram. Dia tidak butuh teman, tidak butuh orang lain, kecuali jika orang itu Cio dan kedua orang tuanya, dan mungkin juga Zico.

Nana berjalan melewati kamar Zico sebelum akhirnya sampai ke kamarnya. Di dalam sana terlihat dengan jelas wajah Zico yang tertidur, hanya saja laki-laki itu bukan tertidur di kasur. Melainkan, di meja tempat biasa laki-laki itu bekerja.

Di kamarnya, Zico memang sengaja membuat sebuah ruangan tempatnya bekerja, hanya untuk berjaga-jaga jika seandainya dirinya tidak bisa pergi ke kantor karena Nana sakit atau karena hal lainnya.

Dari luar, Nana memang bisa melihat Zico yang tertidur di ruangannya karena memang pintu kamarnya yang terbuka dan ruangannya yang cukup sejajar dengan pintu membuat Nana dengan jelas dapat melihatnya.

Gadis itu berjalan memasuki kamar Zico, rasa kasihan dan bersalah tiba-tiba saja muncul dalam dirinya. Melihat sang kakak yang kelelahan hingga tertidur saat bekerja membuat dirinya merasa hanya menjadi beban.

"Kamu bukan adik aku! Kamu udah bikin mamah meninggal!"

Perkataan Zico kecil tiba-tiba terlintas dalam ingatannya. Entah mengapa hatinya selalu berdenyut nyeri saat mengingat masa kecilnya. Ditelantarkan orang tuanya, diabaikan oleh saudara-saudaranya, dan dijauhi oleh teman-temannya. Hanya Cio dan kedua orang tuanya yang selalu menyayangi dirinya.

Nana memalingkan wajahnya, bulir-bulir bening mulai berjatuhan dari pelupuk matanya. Dia tidak tahu kenapa hari ini dia menjadi begitu lemah. Padahal sebelumnya, dia selalu tidak peduli dengan masa lalunya itu.

"Kamu ada di sini, Dek?"

Zico memperbaiki duduknya. Tangannya terulur untuk mengusap puncak kepala Nana, sedangkan gadis itu masih terdiam tanpa berkata apapun.

"Kamu nangis? Siapa yang jahatin kamu?" tanya Zico panik.

Nana menggeleng pelan, dia bangkit dan segera pergi dari kamar Zico, tentunya laki-laki itu tidak diam saja. Zico segera mengejar Nana yang pergi ke kamarnya.

"Dek, kalo ada apa-apa cerita sama abang, jangan begini abang khawatir, Dek."

Zico mengetuk pintu kamar Nana yang terkunci. Sebenarnya, Zico memiliki kunci duplikat hanya saja pria itu tidak ingin bersikap tidak sopan membuka kamar Nana tanpa izin dari pemiliknya.

Di dalam sana, Nana sedang sibuk menatap wajahnya dari pantulan cermin. Meski dia tak pernah melakukan perawatan pada wajah dan rambutnya tetapi wajah dan rambut itu begitu terawat.

"Aku sebenernya cantik, pasti gampang buat aku dapet pekerjaan."

Nana kembali menatap pantulan dirinya di cermin, mengambil sebuah sisir dan memperbaiki rambutnya yang sedikit acak-acakan. Tangannya membuka setiap laci di nakas. Berharap menemukan sebuah benda yang bisa dia gunakan untuk mewarnai bibirnya.

Zico memang selalu membelikan Nana berbagai macam skincare. Namun, pria itu tidak pernah membelikannya make up. Selain karena dia tidak bisa menggunakan make up, dia juga yakin bahwa Nana pasti tidak akan memakainya.

Suara Zico begitu keras dan menuntut membuat Nana mendengkus kesal karena pria itu mengganggunya dan membuat dirinya tidak berhasil menemukan benda yang dia cari.

"Berisik!"

Nana segera bangkit dan membuka pintu kamarnya. Terlihat jelas Zico yang masih setia berdiri di depan pintu.

"Aku ngantuk," ucap Nana pelan. Namun kali ini, wajahnya tidak begitu dingin ucapannya pun terdengar begitu hangat membuat Zico tersenyum lega.

"Kalo ada apa-apa bilang sama kakak, oke?"

Nana menggigit bibir bawahnya, dia sudah berjanji pada dirinya untuk berhenti menyusahkan Zico, tetapi sepertinya tidak bisa.

"Kamu mau apa, hm?" tanya Zico pelan.

"A-aku mau make up, Bang."

Zico mematung, entah mengapa hatinya bahagia mendengar Nana kembali memanggilnya dengan sebutan 'bang'.

"Sini handphone kamu," pinta Zico

Nana menyerahkan ponselnya, tak lama kemudian, Zico kembali mengembalikannya pada gadis itu. Membuat Nana bingung karena tak ada yang berubah pada ponselnya bahkan saldo rekeningnya pun tidak bertambah satu angka pun.

"Abang pergi dulu, kalo ada apa-apa ke kamar Abang aja."

Nana mengangguk dan kembali masuk ke kamarnya masih dengan mengotak-atik ponselnya. Matanya membulat saat melihat keranjang di aplikasi belanja onlinenya habis. Jika tidak salah ingat, total harga di keranjangnya itu lebih dari sepuluh juta belum lagi ongkirnya.

"Kalo tau Bang Zii bakal beliin semuanya kenapa kemarin gak aku tambahin tas sama sepatu aja."

Nana masih fokus dengan ponselnya, kali ini dia hanya memastikan apa saja yang dia pesan. Karena jujur, gadis itu selalu asal memasukan barang apalagi ketika dia gabut.

"Mampus! Ternyata ada kulkas, tv, dan sepeda anak yang gue pesen."

Nana mendengkus kesal, apalagi di dalam pesanannya itu hanya ada satu jenis lipstik dan alat make up lainnya. Bahkan baju, tas, dan sepatu, jumlahnya tak sampai sepuluh. Selebihnya hanya barang-barang tak berguna.

Gadis itu menekan logo kaca pembesar dan mulai mengetik di sana. Jarinya dengan lincah menambahkan barang-barang yang muncul ke keranjangnya bahkan dalam waktu lima belas menit barang di keranjangnya sudah berjumlah lebih dari seratus. Bedanya, kali ini keranjangnya hanya dipenuhi oleh peralatan make up, baju, tas, dan sepatu, tak ada lagi barang tak berguna seperti sebelumnya.

Setelah merasa cukup Nana segera pergi ke kamar Zico. Bodo amat dengan janjinya yang akan berhenti menyusahkan Zico yang terpenting saat ini adalah belanjaannya yang harus segera datang.

"Bang."

Zico keluar dari ruang kerjanya, melihat Nana yang kini sudah tersenyum ke arahnya.

Tanpa ragu Nana segera menyerahkan ponselnya, membuat Zico memicingkan matanya. Namun, tangan pria itu tetap saja menerima benda pipih itu.

"Nih, udah abang pesen semua, ada yang mau di tambahin?"

Nana menggeleng, dia segera kembali mengambil benda pipih miliknya dan segera pergi tak lupa dia juga mengucapkan terimakasih atas kebaikan sang kakak.

Kak, Aku Kecewa (Tamat)Where stories live. Discover now