part 11

210 15 0
                                    

"Zicoo!"

Zico memutar bola matanya malas, saat lagi-lagi Shiren menghampirinya, untungnya saat ini dirinya masih berada di rumah Rafa, menemani Rere yang sibuk merias Dhidy. Karena sebentar lagi, perempuan itu akan melakukan akad bersama pria yang sudah terduduk di pelaminan.

"Ngapain ke sini?"

"Nemenin kamu, oh, ya, Nana apa kabar?"

Zico menarik tangan Shiren kasar dan membawanya keluar dari ruangan itu.

"Ngapain ke sini?!"

"Karena aku juga diundang," jawab Shiren sembari menunjukan surat undangan yang dia dapat.

Zico memutar bola matanya malas. Lalu tersenyum saat melihat Nana dan Dimas berjalan dari kejauhan. Namun, senyum itu memudar saat Shiren ikut menyadari kehadiran mereka. Dengan sigap, Zico menahan tangan Shiren, saat gadis itu ingin pergi menghampiri Nana.

~~~

"Dimas! Lo jalannya satu langkah satu langkah dong, lo tau 'kan gue pake kebaya mana bisa ngejar lo." Nana berusaha mengangkat sedikit roknya agar dia bisa melebarkan langkahnya.

"Gua gak minta lo ngejar gue, gue juga gak minat di kejar sama lo," jawab Dimas dingin. Pasalnya, dari tadi pagi gadis itu terus saja menyusahkan dirinya. Niatnya untuk pulang terpaksa dia batalkan karena Zico yang menginap di rumah Rafa bersama Rere.

Nana mencibir, dia menarik baju Dimas pelan. Membuat langkah pria itu terpaksa tertunda. Dimas berbalik, menatap Nana dengan tatapan tak bersahabat. Tujuan saat ini adalah mencari Zico dan menyerahkan Nana kepada pria itu. Namun, bagaimana bisa dirinya bertamu dengan Zico jika Nana terus saja menghentikan langkahnya.

"Kita mau ke mana sih? Kenapa kita gak langsung masuk aja, Bang Zii sama Rere pasti ada di dalem."

Dimas menepuk jidatnya pelan. Bagaimana bisa dia tak menyadari hal sekecil itu. Pria itu menatap Nana yang sedang sibuk dengan kakinya. Sebuah luka hadir di sana. Mungkin karena gadis itu yang tak terbiasa menggunakan high heels. Pria itu memutar bola matanya malas. Tanpa aba-aba dia membopong tubuh mungil Nana, dan membawanya masuk, mengabaikan tatapan para tamu, yang terpenting baginya adalah segera terbebas dari gadis dalam gendongannya.

Begitu sampai, Dimas segera menurunkan Nana dari pangkuannya. Rere yang melihat kedatangan Dimas dan Nana terkejut, dengan sigap dia membantu Nana untuk duduk.

"Kamu gak papa, Na?" Rere menatap panik saat melihat pergelangan kaki Nana yang terluka.

"Aku gak papa, Re. Kayaknya aku gak cocok deh pake high heels." Nana menahan perih luka di kakinya. Berusaha baik-baik saja, karena tak ingin membuat Rere semakin panik.

"Mau ganti pake sendal? Aku bawa sendal cadangan kok," ucap Rere yang langsung diangguki oleh Nana.

"Sayang, ayok kita keluar sebentar lagi akadnya akan dimulai," ucap seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba saja datang menghampiri dhidy.

Rere dan Nana ikut menemani Dhidy yang akan menuju ke pelaminan. Setelah sampai, Nana segera pergi menghampiri Zico yang sudah terduduk di bangku saksi bersama bersama tamu undangan yang lainnya. Begitu pun dengan Rere yang mengikuti Nana.

"Sahhh!" teriak para saksi saat Rafa selesai mengucapkan ijab kabulnya.

Setelah semua acara berlalu, kini adalah acara yang paling Rere tunggu, acara pelemparan buket bunga.

Rere sudah berdiri paling depan, tak jauh dari tempatnya berdiri ada Dimas yang juga ikut berbaris demi mendapatkan bunga itu, sedangkan Nana hanya sibuk dengan luka di kakinya.

"Satu ...." Orang-orang mulai menghitung.

"Dua ...."

"Ti ... ga."

"Nana awas." Bersamaan dengan hitungan ketiga seseorang berteriak memanggil nama Nana, membuat gadis pemilik nama tersebut sontak mengangkat kepalanya dan menangkap sebuah bunga yang dilempar oleh sang pengantin. Ramai orang bersorak dan bertepuk tangan. Namun, tak sedikit juga yang mendengkus kecewa karena tak berhasil menangkap bunga tersebut tak terkecuali Rere dan Dimas.

"Kamu mau nikah sama siapa Na?" Zico bertanya saat mengetahui sang adik yang berhasil menangkap bunga tersebut, niatnya untuk menggoda pupus, karena wajah Nana yang tiba-tiba saja menjadi muram.

"Kamu nanti mau nikah sama siapa?"

"Sama yang mau, dong."

"Berarti, sama aku dong, 'kan yang mau cuman aku."

Percakapan singkat itu, kembali hadir dalam memori Nana. Entah mengapa, hingga saat ini, Nana belum benar-benar bisa melupakan Cio, bahkan sudah hampir empat tahun semenjak pria itu meninggalkan dirinya.

Nana menatap Zico, kini tatapan semua orang tertuju padanya, menunggu jawaban dari gadis itu atas pertanyaan dari Zico.

Nana berjalan santai memecah kerumunan untuk menghampiri Rere. Sebuah senyum terbit di sana, sebelum akhirnya Nana melemparkan bunga itu dan langsung ditangkap oleh Rere.

"Bunga itu gak ada artinya buat aku, tapi bunga itu pasti berarti banget buat sahabat aku."

Nana tersenyum, "Aku gak punya alasan untuk menerima bunga itu, bunganya indah, tetapi tak akan berarti apapun jika aku yang menerimanya. Kebahagiaan sahabat aku, jauh lebih indah dari sekedar mendapatkan bunga itu."

Rere mematung, bunga di tangannya dia genggam kuat. "Na." Rere berusaha memanggil Nana.

"Re, aku tunggu undangannya, Bang Zii siap kok jadi pengantin kamu." Nana mengacungkan kedua jempolnya lalu berbalik menatap Zico yang mendengkus kesal, sedangkan Rere. Dia menoleh ke arah Dimas yang sedang tersenyum ke arahnya. Bukan, lebih tepatnya ke arah Nana.

"Aku belum siap, aku belum siap untuk memulai hidup dengan orang lain, aku belum siap kehilangan sahabat aku, dan aku juga belum siap untuk menjadi seorang istri, untuk saat ini, aku juga gak butuh bunga ini." Rere tersenyum menghampiri Nana dan memeluknya.

"Terus bunganya gimana?" tanya seorang pria dari belakang. Pandangan Rere dan Nana saling bertemu, tanpa mengatakan apapun mereka berdua mengangguk seolah mereka memiliki pemikiran yang sama.

"Satu ... dua ... tiga ...." Bunga itu kembali terlempar dan kembali menjadi rebutan.

~~~

Nana merebahkan tubuhnya yang terasa begitu lelah. Saking lelahnya, dia tak membutuhkan waktu lama untuk terlelap.

"Cioooo."

Nana berteriak saat melihat siluet seorang pria yang gadis itu yakini sahabatnya.

"Ciooo." Nana kembali memanggil pria itu. Dengan tekadnya dia berlari menyusuri jalan setapak yang cukup sepi, hanya berbekal rasa rindu gadis itu menerobos hujan yang tiba-tiba saja turun.

"Ciooo." Gadis itu memasuki sebuah hutan, sebuah alunan musik menyapa indra pendengarannya. Suara itu, suara yang sangat Nana rindukan. Suara yang hanya dimiliki oleh seorang pria yang sangat berarti untuknya.

Nana mempercepat langkahnya, hingga akhirnya, langkah dia terhenti tak jauh dari tempat seorang pria terduduk di bawah pohon yang rindang.

Sebuah senyum hadir di kedua sudut bibirnya, dengan semangat Nana mempercepat langkahnya. Namun, baru saja beberapa langkah dirinya tersandung sebuah ranting.

Bukhh!

Tubuh Nana terjatuh dari kasur, membuat gadis itu terjaga dari tidurnya. Pelipisnya dipenuhi oleh keringat, nafasnya memburu membuat gadis itu merasa sesak.

"Cio." Pelupuk matanya terasa panas, tanpa mampu dia tahan, air matanya mengalir tanpa izin.

Kak, Aku Kecewa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang