part 4

339 24 2
                                    

Pagi ini, Nana masih sibuk dengan beberapa kotak di kasurnya. Kotak yang terbungkus oleh plastik hitam itu memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari yang sebesar kepalan tangan hingga sebesar bantal tidurnya.

Nana mendengkus kesal saat lagi-lagi, pintu kamarnya diketuk oleh  seseorang.

"Non, ini ada paket lagi," ucap wanita  paruh baya sembari meletakan paket-paket itu di atas kasur Nana. Setelahnya, wanita itu kembali pergi.

Nana kali ini menyesal, karena memesan lebih dari dua ratus barang, di mana setengahnya adalah barang yang tak berfaedah. Gadis itu membuka paketnya random, beberapa tas, baju, sepatu, dan benda lainnya berserakan di lantai.

"Na, ada temen abang nih kamu gak mau kenalan?" Zico mengetuk pintu kamar Nana. Sungguh hal yang tak pernah laki-laki itu lakukan sebelumnya, karena biasanya Zico akan langsung masuk jika pintu tidak dikunci.

"Suruh masuk aja, Bang."

Zico menurut, dia segera membuka pintu kamar Nana dan mengajak temannya untuk masuk. Hal pertama yang Zico lihat adalah rambut Nana yang berantakan. Hari ini, Zico memang belum menyisir rambut gadis itu dan tentu saja itu membuat Zico segera mengambil sisir dan mulai menata rambut Nana.

Gadis itu hanya diam, membiarkan Zico melakukan tugas hariannya. Sedangkan, seorang pria yang tadi bersama Zico hanya mematung melihat interaksi dua kakak-beradik di hadapannya.

Setelah selesai menata rambut Nana, kini Zico mulai merapikan barang-barang yang berserakan di lantai. Memindahkan barang unfaedah itu ke atas nakas.

"Masuk, Dim," panggil Zico kepada temannya.

Nana memutar tubuhnya, beberapa saat pandangannya dengan laki-laki bernama Dimas bertemu sebelum akhirnya salah satu di antara mereka ada yang sadar.

"Lo, cewek yang waktu itu gue anter ke kuburan, 'kan?"

Nana hanya menggidikkan bahunya acuh. Jelas, Nana pun mengingat siapa laki-laki yang kini duduk di hadapannya, tepat di samping Zico.

"Kalian pernah ketemu?"

Dimas mengangguk, sedangkan, Nana hanya diam dan fokus pada barang-barangnya. Dimas yang sejak awal selalu diacuhkan oleh Nana hanya menghela nafas berat, tak tersinggung sedikit pun.

Hening, tak ada percakapan di antara mereka. Nana yang fokus dengan paketnya dan Zico yang ikut membantu Nana membuat Dimas merasa diabaikan, dan hasilnya laki-laki itu ikut membantu Nana membuka paket-paketnya.

***

Pukul 15.00.

Dimas sudah pulang dari dua jam yang lalu, dan Zico sudah kembali ke kantornya karena tiba-tiba saja ada sebuah meeting yang harus pria itu hadiri.

Hari ini, Nana akan kembali pergi ke makam Cio. Sebuah rutinitas yang tak mampu dia hilangkan dalam hidupnya, dengan berbekal sebuah kunci mobil dan setangkai bunga, gadis itu yakin kali ini perjalanannya akan berjalan lancar.

Baru saja, gadis itu menuruni tangga dia sudah bertemu dengan seseorang yang selalu dia jauhi dalam hidupnya. Saga Lahary, seorang pria yang sangat Nana membenci dan sialnya justru laki-laki itu adalah ayahnya.

Pandangan mereka bertemu, hanya beberapa saat pada detik berikutnya, Nana segera memalingkan wajahnya dan berjalan melalui Saga tanpa menyapanya sedikit pun.

"Begitu sopan santun kamu kepada saya?"

Suara Saga tidak membuat Nana menghentikan langkahnya, justru gadis itu semakin mempercepat langkahnya dan segera memasuki mobil untuk pergi ke makam Cio.

Bang Zii is calling ...

Nana mengambil sebuah earphone di saku celananya sebelum akhirnya dia menjawab panggilan Zico.

"Na, kamu di mana?"

"Mobil," jawab Nana singkat

"Maaf, Abang gak bisa cegah ayah datang ke rumah, tapi kamu tenang aja begitu Abang pulang, Abang akan suruh dia pergi, kamu jangan marah, oke."

Beberapa saat, Nana terdiam. Zico, laki-laki yang dulu selalu menolak kehadirannya hanya karena takut dibenci oleh sang ayah, kini bahkan rela mengusir ayahnya hanya untuk dirinya.

"Gak usah, Bang. Bagaimana pun, dia ayah abang."

Nana mematikan sambungan telponnya. Melihat Zico yang lebih memprioritaskan dirinya, membuat hati Nana menghangat. Tak ada yang perlu dia takutkan, Zico tak akan meninggalkannya seperti Cio yang meninggalkannya.

Nana memarkirkan mobilnya tak jauh dari pintu masuk pemakaman, matanya membulat saat melihat seorang gadis menangis di dekat makam Cio. Wajahnya gadis itu, cukup familiar di mata Nana.

"Re," panggil Nana ragu.

Nana tidak mungkin salah, gadis di hadapannya adalah Reina. Sahabat yang dia temukan saat duduk di bangku SMP.

Gadis itu mengadahkan kepalanya. Matanya sudah membengkak, entah berapa lama gadis itu menangis.

"Nana."

Nana mundur dua langkah saat Rere berdiri dan akan memeluknya. Namun, meski dirinya sudah mundur tetap saja Rere berhasil memeluknya dengan begitu erat. Seolah tak membiarkan Nana bernafas.

"Lo tau, berapa sulitnya gue nyari alamat lo? Gue udah kirim lo pesan tapi justru lo blok gue, gue rindu Na. Gue rindu sama lo. LO TAU GAK? GUE RINDU SAMA LO!"

Nana menutup telinganya, teriakan Rere sungguh membuat telinganya berdengung. Ingatan Nana berjalan mundur, mengingat kejadian dua hari yang lalu saat dirinya mendapat pesan dari nomor tidak dikenal. Untung saja, bayangan Nana mengenai seorang laki-laki yang menerornya ternyata hanya bayangannya saja.

***

"Gimana, udah ada kabar?"

Dimas meninju pelan pundak temannya yang sedari tadi fokus dengan ponselnya.

"Gak ada, dia seolah lenyap. Bahkan nomornya udah gak aktif dari dua tahun yang lalu."

Dimas mengangguk prihatin. Semenjak kepergian sahabatnya. Pria bernama lengkap Rafa Aditya itu seolah kehilangan jati dirinya. Tak ada lagi candaan garing yang laki-laki keluarkan, bahkan bicara saja dapat di hitung oleh jari dalam seharinya.

"Gak capek nunggu dia?"

Rafa menggeleng, tekadnya tak akan berubah dia akan menunggu gadisnya kembali, meski hasilkan tak sesuai dengan harapannya.

"Gimana sama hubungan lo, aman?" Rafa balas bertanya pada sahabat kecilnya itu.

"Woiya jelas aman, gak ada retak atau pun masalah sedikit pun. Gue kan gak punya hubungan sama siapa pun." Dimas nyengir kuda. Jelas dia paham apa maksud dari pertanyaan Rafa, hanya saja dia ingin menegaskan kepada sahabatnya itu bahwa tidak memiliki hubungan dengan siapa pun, termasuk gadis yang Rafa sangka sebagai kekasihnya.

"Kadang gue suka mikir, yang bego itu gue atau elo."

"Yang pasti gue gak lebih bego dari orang yang nunggu sahabat ceweknya selama tiga tahun tanpa kepastian," jawab Dimas acuh.

Rafa menatap Dimas tajam. "Sebego-begonya orang bego, dia gak akan pernah mau dibego-begoin. Apalagi sama hal yang gak bisa dilihat," balas Rafa.

"Hantu?" Dimas merapatkan duduknya dengan Rafa.

"Pale lo!"

Dimas tertawa ngakak, melihat Rafa yang selalu marah dan banyak bicara selalu menjadi hiburan untuknya.

"Malam ini gue nginep, ya."

Dimas segera merebahkan tubuhnya di atas kasur milik Rafa.

"Masalah lagi?" tebak Rafa yang tepat sasaran.

Kak, Aku Kecewa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang