21 (ending)

645 22 18
                                    

"Apa salah kalo aku cinta sama adik aku sendiri?" Suara Zico mengambil alih pandangan mereka semua.

Dimas mundur tiga langkah, mengikis jarak antara dirinya dengan Nana,  sedangkan Nana, gadis itu justru menatap Zico tak paham.

"Gak ada yang salah, hanya saja, rasa cinta Bang Zii itu berlebihan." Nana berusaha mengeluarkan kata-katanya. Bagaimana pun, pria di hadapannya bukan sepenuhnya kakaknya yang sadar.

"Bukannya wajar kalo aku cinta sama kamu, Na. Kamu adik aku, aku Abang kamu? Apanya yang berlebihan?"

Nana dibuat bungkam oleh ucapan Zico. Gadis itu bingung harus berkata apa. Jujur, hingga saat ini pun dia masih belum sepenuhnya percaya jika atas apa yang dikatakan Shiren dan Dimas.

"Gak, gak wajar.  Lo gak seharunya jatuh cinta sama adik lo sendiri."

"Terus, lo yang mencintai gue apa wajar? Lo juga adik gue, Shiren."

Shiren dengan susah payah menelan salivanya. Apa yang Zico katakan benar, jika pria itu salah dalam mencintai, lalu, apakah dirinya benar? Shiren sendiri tahu, tak seharunya dia mencintai Zico, tetapi rasa itu muncul dengan sendirinya tanpa dapat dia cegah.

"Na, ayok pergi." Zico menghampiri Nana dan mengajaknya pulang. Dengan santai Zico menggandeng tangan Nana dan membawanya pergi dari rumahnya sendiri.

Nana hanya mengangguk saja, gadis itu mengikuti ke mana pun Zico membawanya pergi.

Zico menghentikan mobilnya di pinggir jalan, menatap adiknya sembari tersenyum.

"Kamu udah tau?"

Nana menatap Zico tak paham. "Tau apa?"

Zico menghela nafas panjang. "Tau kalo Abang cinta sama kamu."

Nana mengangguk. "Apa itu bener?"

Zico menggeleng pelan lalu mengangguk dua kali.

"Abang mana yang gak cinta sama adiknya. Maaf, Abang selalu bikin kamu dalam bahaya hanya karena Abang ingin mereka yang mencintai Abang berhenti buat cinta sama Abang."

"Jadi?"

Zico menghela nafas panjang, bercerita kepada Nana harus selalu detail dan jelas. "Abang sengaja bilang cinta sama kamu, supaya Shiren berhenti cinta sama Abang, bagaimanapun, Abang adalah Abang dia juga."

Nana mengangguk paham, ada satu hal yang ingin dia tanyakan. "Apa bener Abang yang bikin Cio celaka?"

Zico memalingkan wajahnya. Dulu, jika bukan karena dirinya yang membenci pria itu karena begitu dekat dengan adiknya, pasti dia tak akan melakukan hal itu.

"Apa kamu akan kecewa sama Abang kalo semua itu bener?"

Mata Nana terasa panas, kepalanya berdenyut nyeri. Gadis itu hanya diam mematung.

"Na, jawab pertanyaan Abang. Apa kamu akan kecewa dan benci kalo semua itu benar?" Zico memang kedua bahu gadis itu. Perlahan air mata Nana terjatuh membuat Zico semakin putus asa.

"Na, apa kamu akan benci sama Abang?"

"IYA! AKU AKAN BENCI SAMA ABANG, DAN AKU AKAN KECEWA SAMA ABANG."

"Iya, Abang yang bikin dia celaka, iya, Abang yang menjadi alasan dia mati."

"Kenapa? KENAPA, BANG?!"

Zico melepas genggamannya. "Abang gak suka liat kamu deket sama dia, Abang gak suka liat kamu bahagia sama dia. Setiap Abang liat kamu bahagia sama dia, Abang ngerasa bersalah, Abang ngerasa gak berguna. Padahal selama ini Abang juga selalu jagain kamu."

Kak, Aku Kecewa (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora