13.

177 15 3
                                    

Entah berapa lama Nana tertidur, yang pasti, saat gadis itu membuka mata, hari sudah pagi. Dengan malas dia beranjak mengambil handuk dan mulai membersihkan diri. Tekadnya sudah bulat, dia akan mencari tahu siapa pelaku peneror itu. Bukan tanpa alasan, dia hanya ingin tahu mengapa ada orang yang begitu benci kepadanya.

Setelah menyelesaikan ritual mandinya, Nana kembali berbenah, merapikan kasur dan segera pergi dari kamarnya. Hanya berbekal, dua ponsel dan sebuah powerbank, Nana pergi menyusuri jalanan pagi yang cukup sepi, tujuannya hanya satu, yaitu mencari tempat yang dapat membuatnya berfikir dengan tenang. Namun sebelum itu, dirinya menyempatkan diri menemui makam Cio.

Lagi-lagi, makam Cio dipenuhi oleh bunga. Membuatnya mencoba menebak siapa orang yang baru saja datang ke makam itu.

"Mungkin mamah." Nana berusaha meyakinkan dirinya jika Lena-lah yang datang ke makam Cio sebelum dirinya.

Nana menatap gundukan tanah di hadapannya, mengusap papan bertuliskan nama Cio seolah yang dia usap adalah wajah tampan pemilik nama itu.

Nana tidak menangis, hanya saja, matanya terasa panas setiap kali mengingat tentang Cio. Gadis itu menggigit bibir bawahnya yang bergetar.

"Cio, kamu tau kalo Rere udah punya sahabat selain aku, namanya Dhidy, dan dia baru saja nikah kemarin. Dhidy nikah sama Rafa, kamu kenal Rafa 'kan? Ituloh cowok tinggi sahabatnya Dimas, dan Dimas itu sahabatnya Bang Zii." Nana terus saja bermonolog. Membayangkan bahwa dirinya benar-benar bercerita pada Cio.

"Aku sekarang lagi rindu, rindu banget ... sama kamu," ucap Nana sembari terkekeh.

"Empat tahun kita gak ketemu, lama banget, ya. Usia aku aja udah mau dua satu, padahal kamu pernah janji di umur aku ke dua puluh, kamu mau ngelamar aku, terus bawa aku mengelilingi dunia. Kamu inget gak kamu pernah bilang 'gak ada yang boleh marahin Nana selain gue, gak boleh ada yang nyakitin Nana selain gue, dan jangan ada yang mencintai Nana selain gue' kamu inget gak sama ucapan kamu itu?" Nana menghapus kasar air matanya.

"Yo, sekarang banyak orang yang benci aku, eh enggak, maksud aku, sekarang makin banyak yang benci aku. Bahkan mereka saking bencinya sampe neror aku, tapi, yang paling bikin aku sakit, kamu gak ada di samping aku, kamu justru selalu berada di hati aku." Nana bangkit, berusaha tersenyum sembari melambaikan tangannya. "Aku pamit dulu, Cio."

Nana keluar dari tempat pemakaman. Setelah mengirim pesan kepada Zico bahwa dirinya tidak bisa menemani laki-laki itu di kantor, Nana segera memasuki mobilnya dan pergi menuju taman yang sudah lama tidak dia datangi dari empat tahun lalu.

Drrttt!

Nana mengabaikan notifikasi yang masuk ke dalam ponselnya.

Begitu sampai, Nana segera memasuki taman tersebut, tak lupa dia juga sudah membeli Beberapa cemilan yang akan menemaninya mencari tahu tentang peneror tersebut. Nana membuka pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Gadis itu menghela nafas gusar saat mengetahui ternyata operator yang mengiriminya pesan.

Baru saja Nana akan memulai profesi barunya sebagai detektif, perutnya berbunyi menandakan bahwa dirinya membutuhkan energi baru untuk berfikir.

Beberapa bungkus snak tidak membuat perutnya puas, dengan malas Nana terpaksa harus mencari makanan, beruntungnya di taman itu banyak pedagang makanan. Nana menghentikan langkahnya saat melihat Rere tak jauh dari tempatnya berada. Jika dirinya tidak salah ingat, kemarin Rere mengatakan akan pergi ke Bandara menjemput ibunya, tetapi mengapa sekarang gadis itu berada di taman?

Nana mempercepat langkahnya menghampiri Rere yang kini sudah duduk di salah satu warung makan yang berada di seberang jalan.

"Re."

Nana mengembangkan senyum saat Rere menoleh, ternyata penglihatannya masih berfungsi dengan baik.

"Kamu ada di sini juga, Na?"

Rere melambaikan tangannya mengisyaratkan Nana agar mendekat.

"Iya, aku lagi kangen aja sama tamannya," ucap Nana sembari memesan seporsi nasi goreng.

"Dulu taman ini favorit kamu sama Cio, 'kan?"

Nana mengangguk setuju, dulu setiap kali dirinya merasa lelah, atau sakit hati, pasti taman inilah yang akan menjadi tempatnya menghabiskan waktu tentunya dengan ditemani oleh Cio.

Seorang gadis berambut pendek menghampiri mereka, menyerahkan dua piring yang berisi nasi goreng. Dari postur tubuhnya, Nana dan Rere dapat menebak jika gadis itu masih sekolah. Mungkin sekitar kelas sebelas atau dua belas SMA. Sudah menjadi hal biasa bagi mereka melihat anak sekolah yang bekerja paruh waktu. Sebagian dari mereka adalah anak rantau yang sedang melanjutkan sekolah.

"Makasih," ucap Rere dan Nana hampir bersamaan. Gadis itu pun mengangguk tak lupa dia juga tersenyum.

***

Dimas dan Zico masih saling bungkam, bulan depan adalah hari ulang tahun Nana yang ke-21 tahun. Namun, mereka berdua masih bingung cara untuk merayakannya. Karena di tahun-tahun sebelumnya, mereka tidak pernah merayakan ulang tahun gadis itu.

"Lo udah tau soal Nana yang dapet teror?" Dimas menatap Zico intens. Tubuh pria yang menjadi lawannya bicara hanya diam saja, tidak menunjukan tanda-tanda dirinya terkejut, itu artinya pria itu sudah tau mengenai teror yang dialami oleh adiknya.

"Hmm, pelakunya pasti Shiren." Zico balas menatap Dimas, perlahan dia menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju.

"Gue juga mikir gitu, soalnya dia tau kalo lo itu gak normal."

Zico melemparkan pulpen yang sedari tadi dia genggam, lemparannya tepat mengenai bibir Dimas, membuat laki-laki itu mengaduh. Namun, pada detik berikutnya dia justru tertawa.

"Tapi akhir-akhir ini gue malah kepikiran kalo pelakunya itu Chika."

"Menurut gue gak mungkin, Chika itu gadis baik, cantik, polos, dia juga gak ada hubungannya sama Nana. Dia cuman sekertaris lo," ucap Dimas menyampaikan opininya.

"Dia juga mantan lo," cibir Zico.

"Ya, tetep aja, gak ada urusannya."

Zico mengangguk setuju, tidak mungkin sekertarisnya. Lagi pula, Dia mengatakan hal itu hanya untuk memancing emosi Dimas.

Sejauh ini, hanya Shiren yang dirinya curigai. Namun sialnya, sampai detik ini pun, dirinya belum menemukan bukti bahwa memang Shiren yang menjadi pelaku.

"Tunggu, Lo udah tau kalo Nana diteror, dan lo gak mungkin diem aja, jadi apa aja yang udah lo lakuin?"

Zico mengangguk-anggukan kepalanya, dia memang sudah tahu mengenai peneroran itu dari beberapa Minggu yang lalu, tetapi dia tidak melakukan apapun selain mengawasi Nana.

"Gak ada, gue cuman ngawasin Nana, dan mastiin dia baik-baik aja, Rere juga udah tau, jadi gue suruh dia buat jadi pengawas Nana dan ngelaporin semua aktivitas Nana ke gue. Sejauh ini, yang gue tau Nana baik-baik aja."

"Kenapa lo gak coba cari tau pelakunya?" Dimas bertanya serius.

"Pelakunya gak bego, kalo gue cari tau, dia bakal ngerasa terancam dan Nana akan dalam bahaya ...." Zico menggantung ucapannya, tatapan menatap Dimas tajam. "... selain Shiren, lo satu-satunya orang yang patut dicurigai."

Dimas mundur beberapa langkah. "Kenapa gue?"

Zico memiringkan kepalanya, "Karena, bisa aja, lo suka sama Nana dan lo lagi coba ambil alih perhatian dia."

Dimas tertawa. "Gue?" Zico mengangguk mantap.

"Mana mungkin gue suka sama Nana." Dimas mendorong tubuh Zico yang jaraknya cukup dekat dengannya.

"Kenapa lo gak mikir kalo pelakunya itu Rere, semua orang bisa aja jadi tersangka, termasuk Rere dan lo. Oh, ya, gue malah mikir kalo sebenernya Nana udah tau pelakunya, dia pura-pura gak tau karena mau ngelindungin pelakunya, singkatnya pelakunya itu orang yang dia anggap penting." Dimas kembali menyuarakan pendapatnya.

"Sekarang, gue malah makin yakin. Kalo pelakunya itu lo."

Kak, Aku Kecewa (Tamat)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora