06 : Baik-baik Saja

449 62 4
                                    

----------

[Sourire]

Pukul sembilan dan Jun masih sibuk di kantornya, bersama Saga dan Kristin. Ada tambahan anggota lainnya yang menemani pekerjaan mereka malam itu.

"Bibi Kris, kalau yang ini bagaimana mengerjakannya?" tanya Ryo pada Kristin yang sedang menilik dokumen. Kristin mengesampingkan dokumennya sejenak dan melihat tugas Ryo. Tugas Matematika dari guru tergalak di sekolah membuat Ryo harus rela ikut bersama dalam kumpulan pengacara itu. Kebetulan Kristin cukup ahli dalam pelajaran matermatika sehingga Ryo memiliki kemudahan untuk menyelsaikan tugas-tugasnya.

"Ryo, kalau sudah selesai kau boleh kembali ke rumah utama ya, Nak." Ujar Ryo.

"Tunggu Ayah selesai sajalah. Aku malas jalan sendirian ke rumah." Alasan saja. Berjalan tidak sampai lima menit, tapi Ryo memakai alasan malas.

Jun hanya mengembuskan napas pasrah. Ia tidak masalah jika Ryo tetap di kantor, tapi ia mengkhawatirkan keadaan Ryo. Meski di kantor ada sofa bed, Jun tahu tidak akan terlalu nyaman untuk tidur di sana.

Saga dan Kristin izin untuk pulang karena sudah hampir pukul sepuluh. Jika dipaksa pun, mereka hanya akan mendapat lelah tanpa solusi, jadi Jun memutuskan untuk menyelesaikan diskusi tentang kasus terbaru mereka dan melanjutkannya besok pagi.

Ryo setia menunggu sang ayah yang masih merapikan mejanya. Di sela-sela kesibukan sang ayah, Ryo memecah hening. "Ayah, ibu Arash itu ...." Ucapan Ryo membuat Jun tertegun, tapi Ia tetap menyusun kertas-kertas dan folder yang ada di atas meja.

"Apa Ayah mengenalnya?" sambung Ryo.

Sambil tersenyum kikuk, Jun menjawab, "Tidak. Ayah tidak mengenal ibunya Arash. Kenapa, Ryo?"

Ryo merapatkan bibir dan mengernyit. "Aku heran. Kenapa ibu Arash langsung menampar Ayah waktu itu? Seolah-olah Ayah adalah orang yang sangat jahat yang ingin mengambil Arash. Ibu Arash kelihatan sangat marah. Aku hanya penasaran saja, apa mungkin kalian pernah berhubungan dan bertengkar hebat."

Jun berdeham kikuk. Pembahasaan yang Ryo mulai membuat hatinya yang terluka kembali menganga sedikit. Pikirannya terbang pada kenangan tidak menyenangkan yang dulu pernah tercipta. Ibu Arash, atau yang biasa dipanggil Neida. Wanita itu mungkin adalah sosok yang asing bagi Ryo, tapi tidak bagi Jun.

Jun berdeham lagi. "Mungkin, ibu Arash benar-benar marah hingga tidak tahu harus meluapkannya dengan cara seperti apa, jadi dia menampar Ayah tanpa sadar." Jawab Jun, meredakan rasa penasaran. Ryo hanya mengangguk. Ia tidak ingin menghabiskan terlalu banyak tenaga untuk mengorek informasi lainnya.

Keduanya berjalan bersama menuju rumah utama setelah Jun mengunci kantornya. Jun merangkul Ryo yang terlihat menggigil karena tubuhnya diterpa udara malam. Bahkan Jun mempercepat langkah, membuat Ryo sedikit berlari agar lebih cepat sampai di pintu rumah.

Saat kakinya hendak melangkah masuk, tiba-tiba Ryo terjatuh. Ia terduduk di lantai sambil menunduk. Terdengar ringisan hingga membuat Jun panik bukan main. Jun mengangkat lengan Ryo dan menyuruhnya untuk bergerak sedikit agar bisa diangkat di punggung Jun.

Jun membawa putranya ke kamar. Membaringkan Ryo yang masih berpejam dengan dahi mengernyit. "Ayah akan menelepon Paman Jio ya."

"Tidak usah, Ayah. Cuma terasa berputar sedikit. Bukan apa-apa." Sahut Ryo cepat dengan suara parau. Ia sudah membuka mata, tapi sesekali masih meringis. Jun menghela napas panjang sambil mengusap dahi Ryo. Tubuh Ryo memang hangat. Seketika Jun merasa menyesal sudah mengizinkan Ryo untuk menunggu di kantor. Tanpa mempedulikan penolakan Ryo tadi, Jun tetap menghubungi Jio tanpa sepengetahuan sang putra.

SourireWhere stories live. Discover now