04 : Makan Malam

482 73 12
                                    

-----------


[Sourire]

"Kau benar-benar sudah menghubungi orang tuamu?" tanya Ryo pada Arash saat perjalanan menuju rumah Ryo. Arash mengangguk mantap, meski ia tidak benar-benar menghubungi sang ibu tentang ajakan Ryo hari itu.

Setelah latihan tadi, Ryo menjalankan saran sang ayah untuk mengajak Arash makan malam bersama sebagai ucapan terima kasih karena telah mengantar Ryo ke rumah sakit waktu itu. Sang ayah sudah bilang jika akan mengantarkan Arash pulang setelah selesai, yang penting Arash sudah minta izin. Jun juga menawarkan diri untuk memintakan izin pada orang tua Arash, tapi Arash menolak. Ia tahu, sang ibu pasti akan melarangnya. Karena itu, lebih baik tidak usah minta izin sekalian. Arash tidak bisa menolak ajakan Ryo. Kapan lagi bisa makan malam bersama sang idola. Bagi Arash, kesempatan tidak datang dua kali, jadi ia tidak ingin menyia-nyiakannya. Lebih baik dimarahi habis-habisan oleh sang ibu belakangan, daripada harus menghabiskan waktu bersama calon suami sang ibu yang biasanya mengajak makan malam ke luar.

"Wah, sudah datang ya. Ayo, duduk!" Sambutan hangat Maria membuat hati Arash tersentuh. Suasana rumah dari depan pintu sangat menyenangkan. Lampu ruang tamu yang diremangkan menimbulkan atmosfir tenang dan nyaman. Maria memeluk dan mencium pipi Ryo sebelum menggiringnya ke meja makan. Ada Saga dan Kristin juga di sana.

Ryo berniat mengambil pie buah yang mencuri perhatiannya sejak ia duduk, tapi tangannya terhenti karena dipukul pelan oleh Maria yang memelototinya. Ryo mendelik kaget. "Nenek!"

Maria menggigit bibir, menahan geram. "Belum cuci tangan sudah ambil makanan. Lagipula, seharusnya kita makan makanan utama dulu, baru makanan penutup. Cuci tanganmu dulu, Ryo!" seru sang nenek di depan Arash. Sementara orang-orang dewasa lainnya hanya terkikik gemas melihat Ryo yang menggembungkan pipi.

Makan malam mereka dimulai pukul enam. Lebih cepat karena tampaknya semua sudah lapar. Makanan pada malam itu terlihat lebih banyak dari biasanya. Jun memang meminta sang ibu untuk menyiapkan makanan lebih banyak untuk merayakan peringatan sepuluh tahun berdirinya kantor hukum Jun dan rekan. Karena itulah, ada Saga dan Kristin juga di sana.

"Arash, terima kasih sudah datang ya. Paman dan Ryo tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apa, jadi kami mengundangmu makan malam saja. Seharusnya, kami juga mengundang orang tuamu." Ujar Jun membuka pembicaraan setelah mereka selesai menyantap hidangan.

Arash berdeham pelan, sedikit grogi karena diajak bicara oleh Jun. "Ah, i-iya. Tidak masalah, Paman. Ini saja sudah cukup. Seharusnya aku yang berterima kasih karena diundang. Maaf, ibuku tidak bisa datang karena masih ada urusan. Tadi aku juga sudah menghubunginya kok." Ujar Arash, memintal kebohongan.

Jun mengangguk sambil tersenyum. "Begitu ya. Kau tinggal dengan ibumu?" tanya Jun, tanpa basa-basi. Arash mengangguk. "Ayahku sudah tidak ada. Kata ibu, Ayah sudah meninggal saat aku masih bayi."

Jun tertegun mendengar jawaban itu. Melihat raut wajah Arash yang berubah membuat Jun sedikit merasa bersalah karena menanyakan hal itu.

"Aku juga tidak punya ibu." Timpal Ryo. "Kata ayah, ibu sudah meninggal, bersama dengan adikku yang masih bayi." Sambungnya. Arash menoleh pada Ryo yang duduk di sampingnya. "Kau punya adik?"

Ryo mengangguk mantap. "Dari dulu, ayah selalu membujukku untuk menjadi kuat. Karena aku harus jadi kakak yang baik. Adikku melihatku dari atas, jadi aku tidak boleh cengeng. Jangan sampai membuat adikku malu padaku." Tutur Ryo, membuat Arash berekspresi sendu saat mendengar cerita itu.

Maria dan Jun saling bertatapan. Hati mereka terasa berdenyut saat Ryo mengatakan hal tersebut pada Arash tanpa wajah sedih sedikit pun. Arash dan Ryo terhanyut dalam perbincangan mereka, sementara Saga dan Kristin berpindah ke ruang tamu untuk membahas kasus yang mereka tangani. Seharusnya Jun bergabung dengan dua rekannya, tapi ia memilih membantu sang ibu membereskan dapur. Ia tidak tega melihat sang ibu mengerjakan semuanya sendirian.

SourireWhere stories live. Discover now