00 : Prolog

1.1K 100 15
                                    

----------

"Aku sayang Ayah."

[Sourire]

"Pagi, Ayah."

Sapaan dari remaja tujuh belas tahun itu selalu terdengar merdu di telinga Jun dan Maria setiap pagi. Jun menoleh sebentar, "Hei. Sudah bersiap? Sarapan dulu. Nenekmu sudah menyiapkan sereal." Sahutnya sambil merapikan kertas-kertas di meja ruang tamu, sisa-sia perjuangan tadi malam bersama Saga dan Kristin, untuk membahas kasus hukum terbaru yang sedang mereka hadapi.

"Sereal?" Ryo mengernyit, ingin protes dengan menu sarapan. "Kenapa sereal, Nek?" tanya Ryo dengan alis bertaut. Maria mengangkat alis dengan tangan yang sibuk mengambil tiga container plastik berisi dua jenis sereal yang berbeda. "Kan kau memang suka sereal. Ini cornflakes. Kau mau dicampur dengan fruit loop atau ...."

"Nek, aku kan sudah besar. Sudah tingkat dua sekolah menengah atas. Makananku sereal?" Ryo berdecih dan berkata, "Tidak dewasa sekali."

Sang nenek mengembuskan napas pelan sambil memutar bola mata. Ada-ada saja keluhan Ryo di pagi hari. Ini bukan pertama kalinya bocah itu mengeluhkan tentang sarapan. Meski sudah diganti menu dengan roti atau telur, tetap aja Ryo akan meminta sereal pada akhirnya.

"Ya sudah kalau tidak mau. Nanti nenek berikan saja pada Paman Saga. Saga sudah datang belum ya, Jun?" Maria melongok ke luar jendela. Mencari presensi mobil Saga yang mungkin sudah terparkir rapi di depan kantor hukum kecil milik Jun, yang sengaja dibangun di samping rumah utama mereka.

"Eum .... Kurasa aku sudah melihat mobilnya tadi. Akhir-akhir ini, Saga datang lebih pagi dari biasanya." Sahut Jun.

"Jangan, Nek!" Ryo segera duduk dan menahan mangkuk yang sudah sang nenek pegang, siap untuk diangkut dan diberikan pada Saga. "Kan Nenek menyiapkan ini untukku. Kenapa harus diberikan kepada Paman Saga?" protes Ryo. Maria mengangkat alis. "Tadi kau bilang tidak mau makan sereal kan?"

"Siapa bilang aku tidak mau makan sereal?"

"Siapa yang bilang kalau tadi sudah besar dan tidak cocok makan sereal?"

"Aku tidak bilang begitu kok. Iya kan, Yah?" Ryo mencari pembelaan dari sang ayah yang malah tertawa sambil menggeleng pelan melihat perdebatan antara cucu dan nenek itu. Selalu ada keributan di pagi hari yang membuat rumah Jun terasa lebih ramai.

Setelah melahap habis makanannya, Ryo menyatukan kedua telapak tangan. "Terima kasih makanannya, Nenek." Ia membungkuk singkat di hadapan sang nenek. Maria tersenyum puas melihat cucunya yang makan dengan baik. "Pulang lebih cepat ya. Nenek mau ajak Ryo jalan-jalan."

Ryo menjentikkan jari. "Tidak bisa, Nek. Hari ini aku ada janji." sahutnya.

"Janji? Dengan siapa? Gadis? Jun, lihat anakmu ini. Sudah berani menggoda gadis. Bagaimana bisa seorang gadis jatuh hati padanya kalau kelakuannya saja masih begini?"

Ryo menaikkan dagu sambil melipat tangan di depan dada. "Memang begini yang bagaimana, Nenek?" tantang Ryo. Maria menjewer telinga cucunya, menimbulkan ringisan dan protes dari sang cucu.

"Si manja dan keras kepala ini. Suka sekali melawan neneknya dan masih tidak mau mendengarkan nasihat orang tua. Apa ada yang mau dengan remaja seperti ini hah?" Maria menggeram. Tidak benar-benar mencubit, tapi ia ingin melepas rasa gemasnya dengan mencubit pelan pipi Ryo.

"Tentu saja ada." Sahut Ryo penuh percaya diri, setelah berhasil melepaskan diri dari geraman sang nenek.

"Hari ini diantar oleh Ayah atau Paman Saga?" tanya Jun, menggantik topik pembicaraan, mengingat waktu yang terus berjalan. Ryo bisa terlambat jika tidak segera berangkat.

"Tidak usah diantar, Yah. Aku akan membawa sepedaku."

Jun mengernyit. "Bersepeda? Bukankah kau akan kencan? Bagaimana bisa berkencan dengan membawa sepeda?"

"Aku akan mengajari temanku itu bersepeda, Yah. Makanya, aku berangkat dengan sepeda saja."

Jun mengangguk pelan. "Jangan terlalu lama berada di bawah matahari. Pakai topimu sebelum mengajarinya di lapangan. Jangan terlalu banyak berlari dan menimbulkan keringat. Minum air yang banyak dan ...."

"Iya, Ayah. Aku mengerti semuanya. Sudah hapal di sini." Ryo mengarahkan telunjuknya ke kepala sambil mengedipkan mata pada sang ayah yang hanya menghela napas pasrah.

"Jangan pulang terlalu sore. Nanti malam kita sudah ada janji. Ingat kan?" tambah Jun. Ryo mengangguk sambil menjawab dengan gumaman.

"Aku pergi dulu ya. Bye, Nenek. Aku menyayangimu." Ryo mengecup pipi sang nenek. Tak lupa, ia juga memeluk sang ayah dari belakang, lalu berlari keluar rumah. Jun mengikuti langkah cepat putranya.

"Hei! Tidak bilang sesuatu pada Ayah?" teriak Jun dari depan pintu. Ryo melambaikan tangan. "Aku sayang Ayah." Kemudian, ia mengayuh sepedanya dengan kencang.

Jun membalas lambaian tangan itu sambil tersenyum. "Aku ingin sekali hidup selamanya untuk melihat senyum itu, Jun." Ujar Maria, berdiri di samping Jun.

"Aku juga berharap begitu, Bu." sahut Jun. "Aku ingin senyum itu selalu ada. Selamanya."

[Sourire]

----------

Love

Wella

(13 Desember 2020)

Repost

20 Juni 2021

SourireWhere stories live. Discover now