17 : Medali

262 32 23
                                    

Happy weekend~
Jangan sampai emosi ya.

[Sourire]

Keluar dari mobil sang ibu, Arash berlari cepat menuju ruangan yang disebutkan sang ayah saat meneleponnya tadi. Setelah pertandingannya selesai, Arash benar-benar bahagia karena berhasil membawa pulang medali emas untuk pertama kalinya. Kebahagiaan ini ingin sekali ia bagikan pada sang kakak dan ayah yang tak bisa menghadiri pertandingan. Namun, kebahagiaannya pupus saat Jun mengirim pesan. Mengatakan bahwa ia kondisi Ryo sedang tidak baik dan tidak bisa datang ke pertandingan untuk menjemput. Arash bersikeras untuk diantarkan ke rumah sakit oleh ibunya.

"Kakak, Yah?" tanyanya dengan napas terengah-engah. Ia menatap sang ayah penuh tanya, sementara Jun hanya bisa membalas tatapan sang putra dengan embusan napas pasrah. Arash mengernyit, lalu menoleh untuk menemukan sang kakak sedang merintih kesakitan dari balik kaca. Ia menggedor-gedor kaca sambil memanggil nama Ryo. Namun kemudian, sang ayah memegang lengannya dan menarik tubuh itu untuk duduk. "Tenang, Arash." Bujuk Jun.

Arash menggeleng. "Bagaimana bisa tenang, Yah? Kakak sedang di dalam. Kesakitan. Aku harus bagaimana?" ujar Arash penuh kepanikan. Ia kembali berdiri untuk mendapati sang kakak yang berteriak kesakitan sambil menggerakkan tangan dan kakinya. Sepertinya Ryo sedang memberontak. Menolak untuk ditangani. Matanya memang tertutup, tapi ia dapat merasakan sentuhan dari perawat dan segera menepis kasar tangan perawat yang berusaha memegang tangannya.

Arash panik sekali dan tanpa berpikir panjang berusaha untuk memutar kenop pintu agar bisa masuk dan menenangkan sang kakak. Namun sayang, ia tak berhasil. "Kenapa terkunci, Yah?" tanyanya masih dalam rasa panik.

"Kita tidak diizinkan untuk masuk, Ar."

"Kenapa, Yah? Kenapa tidak boleh? Jadi kita harus membiarkan Kak Ryo kesakitan sendirian di dalam sana? Lihat, Yah. Kak Ryo tidak mau, Yah. Dia kesakitan dan perawat-perawat itu hanya membuat Kakak semakin sakit." Racau Arash, terus berusaha mendorong pintu. Dengan terpaksa Jun harus menarik tangan Arash, mengguncang lengan sang putra.

"Arash! Dengarkan Ayah!" seru Jun, menyadarkan putranya yang tak bisa tenang. Memandang wajah tegas Jun membuat Arash menghentikan gerakannya. "Dengar, Kak Ryo benar-benar sedang kesakitan dan kita harus tenang agar dia tak semakin tersiksa. Bisakah Arash menenangkan diri ... untuk Kak Ryo?" tanya Jun dengan alis bertaut. Arash terhipnotis dengan tatapan sendu sang ayah dan mengangguk.

"Kak Ryo mengalami hari yang berat. Kemoterapi membuatnya tertekan dan stres. Bahkan menghadapi salah satu efek dari kemoterapi membuatnya tak bisa mengendalikan diri. Saat dia membuka mata, penglihatannya tak seperti biasa. Dia tidak bisa ..." Jun menghela napas panjang sebelum melanjutkan. " ... tidak bisa melihat dengan jelas, Ar. Kakakmu panik. Mengira bahwa dia tak bisa melihat dengan normal lagi. Dia hampir melukai dirinya sendiri. Karena itulah, dokter dan perawat sedang berusaha menenangkannya sekarang."

Arash terperangah. Tak menyangka akan apa yang terjadi pada sang kakak. Kesakitan yang bertubi-tubi, yang menimpa kakaknya cukup mampu membuat Arash terluka. Ia menumpahkan air mata saat Jun mendekapnya. Dalam pelukan sang ayah, ia menangis. Rasa bersalah dan sesal memenuhi hati rapuhnya. "Bisakah aku saja yang mengambil rasa sakit yang Kak Ryo rasakan, Yah?" tutur Arash di sela tangis. Ia dapat merasakan usapan lembut Jun yang tak berhenti, sepanjang tangisannya yang seolah tak berujung. Untuk saat ini, Arash benar-benar hancur karena merasa tak berguna sama sekali. Tak bisa apa-apa selain menangisi kesakitan kakaknya yang lebih menyakitkan daripada merasakan sakit itu sendiri.

Arash dan Jun dapat sedikit bernapas lega karena kesakitan Ryo berakhir. Terbukti dengan perawat yang mulai keluar dari ruangan, diikuti oleh dokter yang keluar dari ruang rawat dengan wajah tenang, menyapa Jun dengan ramah dan mengajaknya bicara.

SourireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang