20 : Keputusan

126 17 4
                                    

----------

[Sourire]

"Apa katamu?"

Neida tertegun. Suara Aria terdengar kesal, tapi ia tak meluapkannya berlebihan. Ruang makan di rumah Neida terasa kosong. Arash tidak di rumah. Ia meminta untuk bermalam di rumah Jun sebelum mereka benar-benar meninggalkan kota. Saat inilah waktu yang tepat untuk membicarakan hal penting dengan Aria.

"Apa kau memintaku untuk menunda dan membuatku menunggu lagi? Untuk berapa lama lagi, Neida?"

Neida menggigit bibir. Berusaha mengangkat kepala untuk menyampaikan pendapatnya. "Aria, aku tahu ini tidak masuk akal, tapi kumohon. Bolehkah kau memahami ..."

"Memahami keadaan? Keadaan seperti ini harus kupahami? Aku sudah berusaha mencari tempat baru yang nyaman dan aman untuk kita. Aku sudah mengorbankan waktu kerjaku untuk mempersiapkan kehidupan baru kita. Aku berusaha mencarikan semua yang Arash butuhkan agar ia tak merasa tertinggal dengan teman-temannya, termasuk mencarikannya klub olahraga baru yang pasti akan menerimanya. Kau minta penangguhan waktu lagi? Tiket berangkat sudah kubeli. Aku yang membelinya, Neida. Kau bisa bayangkan kerugian waktu, uang, dan tenaga yang kualami kalau aku bersikap dermawan untuk permintaanmu ini?"

Neida tertunduk diam. Tak berkutik sama sekali dengan semua ucapan Aria yang penuh amarah. Sangat membara. Ia sadar, permintaannya salah. Ia sadar bahwa dirinya pantas mendapatkan cercaan sedemikian rupa dari Aria. Untunglah Arash tak ada di sana, menyaksikan ibunya dicecar habis-habisan oleh calon ayah baru. Jika Arash melihat, akan sebenci apa anak itu pada Aria.

Aria berdecak sambil memijat pelan pelipisnya. "Begini saja, Neida. Kau yang memutuskan. Jika kau bersikeras untuk menunda pernikahan dan kepindahan kita, maka lebih baik dua hal itu tak perlu terjadi,"

"Aria! Apa maksudmu?"

"Ya. Aku sedang memberimu pilihan. Aku tidak bisa lagi menahan rasa kesalku karena masa lalumu."

"Jun mungkin memang masa laluku, tapi anakku bukan masa lalu. Dia tetap anakku, Aria!"

"Persetan dengan semua omong kosong itu, Neida!"

Neida terkejut melihat Aria yang semarah itu. Ia tak mengira pembicaraan mereka bisa menjadi sepanas ini.

"Jika kau memang memutuskan untuk menemani putramu, silakan," Aria berdiri, berjalan ke arah jendela. Ia menatap jalanan yang sepi. Tak terdengar suara apa pun di ruangan itu kecuali suara jam dinding. Sementara Neida masih tertunduk. Memainkan kukunya dalam perasaan yang campur aduk.

Setelah beberapa menit, Aria menghela napas panjang, lalu menoleh pada Neida dengan mata sendu. Ada rasa bersalah di hatinya setelah meluapkan emosi pada sang kekasih. Ia pun mendekati Neida. Memberikan sebuah pelukan dari belakang.

Neida menegakkan punggung dan kepalanya, tapi tak membalas pelukan itu. Hatinya masih berdegup tak beraturan setelah dihujani amarah.

"Maaf, sayang. Seharusnya aku tak berkata demikian. Kau tahu, semua yang terlontar dari mulutku hanya luapan emosi saja. Tidak sungguh-sungguh. Aku minta maaf karena telah menyakitimu dengan kata-kataku," tutur Aria tepat di samping telinga Neida.

Neida bergumam pelan, mengiyakan pengakuan dosa Aria dengan tak begitu bersemangat. Ia bahkan tak yakin apakah bisa menerima permintaan maaf itu atau tidak.

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Dec 21, 2023 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

SourireDonde viven las historias. Descúbrelo ahora