09 : Nama Itu

355 58 19
                                    

Baru saja selesai direvisi supaya lebih enak dibaca.

----------

[Sourire]

Maria mengecup puncak kepala sang cucu yang sedang memejamkan mata. Ryo tertidur saat sang nenek tiba. Ia lelah karena harus menyambut beberapa teman yang menjenguk. Usapan tangan Maria di kepala Ryo tidak lepas sampai Jun memanggil sang ibu untuk bicara. Yang dibicarakan Jun pasti tentang keadaan Ryo, yang sebenarnya tidak ingin Maria ketahui. Wanita tua itu hanya ingin tahu bahwa cucunya baik-baik saja, tapi kenyataan berkata lain. Maria mengepalkan kedua tangan, dengan kepala yang masih ia tegakkan. Pandangannya lurus terpaku pada hiasan dinding. Ia mencoba untuk tegar dengan tidak menitikkan air mata atau terisak. Namun ia tetap tidak bisa menutupi perasaan kalut dan frustrasi dari Jun.

"Bu, kau tidak apa-apa?" tanya sang putra sambil mengusap punggung tangan Maria. Wanita itu terkesiap, lalu terkekeh kikuk. Ia tidak ingin menciptakan suasana yang terlalu tegang, tapi tetap saja kenyataan yang sedang ia hadapi terasa pedih.

Maria berdeham pelan "Apa tidak bisa Ibu saja yang mendonorkan sum-sum tulang belakang? Ibu masih sanggup kok, Jun. Ibu masih kuat sekali. Periksa saja Ibu untuk melihat kecocokannya." Sergah Maria, tidak pikir panjang. Dari penuturan Jun tentang solusi sembuh untuk Ryo, Maria berpikir untuk mengorbankan dirinya sendiri saja. Toh ia adalah nenek kandung. Tidak mungkin tidak cocok, pikirnya .

"Bu, meski cocok, aku tidak akan membiarkan Ibu yang mendonorkan. Usia akan mempengaruhi efek dari pendonorannya nanti, Bu. Aku ingin Ryo sembuh, tapi aku tidak ingin Ibu yang jadi sakit." Tutur Jun lembut, berusaha agar tidak menyinggung sang ibu.

Maria berdecak kesal. Bukannya ia tidak tahu bahwa kesulitan penyembuhan Ryo sewaktu bayi adalah karena tidak ada di antara mereka yang memiliki kecocokan untuk sum-sum tulang belakang. Sudah tidak bisa memikirkan cara lain, Maria menatap Jun penuh harap. "Jun, kau dan Neida memiliki Arash karena suatu alasan. Iya kan?"

Jun terdiam. Memutuskan untuk memiliki Arash adalah pertimbangan yang tidak mudah. Tentu saja, ayah Ryo ini merasa bersalah karena harus membuat bayi kedua dari pernikahannya dengan Neida lahir untuk menyelamatkan sang kakak. Dulu, memang itulah misi kelahiran Arash. Namun sekarang, Neida tidak lagi berpikir sejalan dengan Jun. Neida tidak rela mengorbankan Arash, meski untuk putra sulungnya sekali pun.

"Kita tidak bisa meminta bantuan Neida lagi. Kau tahu apa yang membuat Neida pergi meninggalkan kita."

Maria mengembuskan napas lelah. Ia frustrasi dengan situasi ini dan membuatnya menitikkan air mata. Ia terisak dalam pelukan putranya. "Kenapa, Jun? Kenapa Ryo harus menghadapi ini semua? Kita harus bagaimana sekarang?" racaunya.

"Nenek?" Suara itu membuat Maria dan Jun terkejut. "Kenapa Nenek menangis?" tanya Ryo dengan polosnya sambil berbaring miring, menghadap Jun dan Maria. Sang nenek bergerak cepat, menghampiri cucu kesayangannya. Mengusap dahi Ryo sambil mengecup puncak kepala sang cucu. 

"Nenek hanya khawatir dengan kondisi Ryo. Kenapa terbangun, Sayang? Mau Nenek pijat?" ujarnya sambil memijat pelan lengan sang cucu yang kini sudah berada pada posisi duduk.

"Nenek ..." suara Ryo terdengar parau. "Neida itu .... siapa?" tanyanya dengan mata sayu.  Mari terhenyak, begitu pula dengan Jun yang menatap sang ibu denga"Siapa, Nek? Kenapa kalian menyebut nama itu?"

***

Aria berlari tergopoh-gopoh di lorong rumah sakit agar tidak kehilangan jejak Arash yang berlari keluar rumah dan menaiki taksi menuju ke rumah sakit, dan akhirnya berhenti di depan sebuah kamar rawat. Pria itu menemukan Arash sedang berbicara dengan seorang pria. Ia sempat memanggil Arash, tapi hanya ditanggapi dengan tatapan malas.

SourireWhere stories live. Discover now