12 : Pengakuan

364 69 28
                                    

-----------

[Sourire]

Yuan keluar dari ruang rawat Ryo, disambut oleh Arash yang menunggu dengan gelisah. "Bagaimana?" tanya Arash.

Yuan mengembuskan napas sambil menggeleng. "Masih tidak mau." Jawab Yuan. Sejak kejadian kemarin, saat Ryo pingsan di gelanggang setelah nekat bermain satu set dengan Nara, Ryo menolak untuk bertemu dengan siapa pun. Termasuk bertemu sang ayah. Ia akan memilih untuk berpura-pura tidur sampai sang ayah pergi. Ryo bahkan tidak menerima teman-temannya yang datang menjenguk. Sedangkan Yuan bertugas sebagai penjaga pintu dan penyampai pesan. Ryo menjadi lebih pendiam karena merasa kecewa dengan kondisi tubuhnya yang memburuk.

Tiga puluh menit lalu, Arash menunggu Yuan yang berusaha untuk membujuk Ryo yang tidak ingin ditemui oleh siapa pun. Arash mendengus kecewa. "Bolehkah aku masuk saja? Tidak dikunci kan?" tanya Arash.

Yuan mengangkat tangan, menahan tubuh Arash yang sudah siap untuk masuk. "Bisa-bisa Ryo memakimu. Kau tidak ingin membuat Ryo jadi tidak suka padamu kan?" ujar Yuan. Namun Arash terlalu keras kepala untuk menuruti arahan Yuan. Ia menggeser tubuh Yuan sedikit dan langsung membuka pintu. Ryo menoleh dan membuat Arash terpaku dengan tangan yang masih memegang kenop pintu.

"Tidak mengerti bahasa yang Yuan sampaikan?" Nada Ryo sinis. Namun Arash berusaha untuk tegar mendengar pertanyaan pedas itu. Ia berjalan perlahan, mendekati Ryo yang sedang duduk di brankarnya.

Ryo memalingkan wajah. Ia tidak ingin mengusir Arash dengan marah-marah. Tenaganya tidak cukup. Untuk duduk dan sekadar melamun saja, ia sudah merasa lemas.

"Arash, Ryo butuh istirahat. Sebaiknya kau ..."

"Biar saja, Yuan. Dia tidak akan mematuhimu. Jadi biarkan saja." Potong Ryo, lalu Yuan menutup pintu perlahan. Meninggalkan Ryo dan Arash di kamar.

"Kak ..."

"Sedang tidak mau bicara banyak." Tukas Ryo tanpa menoleh.

"Kau baik-baik saja?"

Ryo menelan ludah dengan susah payah. Ia menoleh pada Arash yang sudah tepat di hadapannya. "Menurutmu aku baik-baik saja?" tanyanya. Arash terdiam. Melihat selang infus melekat di punggung tangan Ryo, wajah Ryo yang pucat pasi dengan bibir kering, mata Ryo yang sayu, menandakan bahwa keadaan Ryo buruk, tapi tidak mungkin Arash mengatakannya.

"Kak, aku sudah tahu semua."

"Maksudmu?" Ryo mengernyit.

Arash menghela napas panjang sambil berdecih pelan. "Aku adalah adik yang benar-benar tidak tahu diri."

Ryo tertegun. Ia menatap Arash yang membalas pandangan dengan tatapan sendu.

"Aku tidak tahu apa-apa meski kau sedang menderita begini. Seharusnya, aku selalu ada. Siaga untuk membantumu dalam bentuk apa pun. Aku bodoh sekali." Tutur Arash sambil tertunduk. Ia tidak menangis, tapi meringis. Meringis penuh sesal.

"Sekarang, aku sudah tahu tentang semuanya. Aku tidak bisa memahami semua, tapi yang terpenting aku tahu bahwa kau membutuhkanku dan aku harus selalu siap. Jadi, apa yang bisa kulakukan untuk membantumu, Kak?" tanya Arash sambil meraih kursi lipat dan duduk di samping Ryo.

Ryo tidak langsung menjawab dan memalingkan wajah. "Tidak ada." Jawabnya tegas. Jawaban itu membuat Arash mengernyit. Hatinya berdenyut mendengar jawaban singkat itu. "Kak ..."

"Sudah kubilang, tidak ada!" Ryo meninggikan suara. "Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk membantuku." Lanjutnya. Hening untuk beberapa detik, kemudian Arash memberanikan diri untuk membuka suaranya kembali.

SourireWhere stories live. Discover now