18 : Tidak Normal

202 28 6
                                    

----------

[Sourire]

"Bukan begitu cara menerima serangannya, Kawan!"

Nara berseru dari pinggir lapangan. Berkacak pinggang sambil melemparkan pandangan kritis pada setiap gerakan junior-juniornya. Tak kurang dari lima kali dalam lima menit, ia berdecak sambil mengomel. Mengomentari teknik bermain adik-adik  anggota klub bulutangkis.

Ketegangan di tengkuk Nara mereda saat melihat Ryo dan Yuan dari kejauhan. Mereka berdua memasuki gelanggang dengan santai dan yang paling membuat Nara bingung, Ryo berpenampilan normal. Tanpa kursi roda, tak terlihat pucat. Pokoknya tidak seperti orang penyakitan.

Yuan melambai dan tersenyum pada Nara. Begitu pula dengan Nara yang sumringah melihat wajah normal Ryo. "Hei hei, Tuan Jagoan. Kau sudah baik?" Nara menyapa ramah dengan tepukan di bahu Ryo. Ia tak menyadari bahwa tepukan yang menurutnya ringan itu membuat Ryo meringis, merasa ngilu. Hal itu membuat Inka memelototi Nara yang tidak tahu apa-apa.

"M-maaf. Aku tak tahu sebuah sentuhan  bisa menyakiti," tutur Nara dengan kedua tangan terangkat sejajar telinga.

"Yang kau lakukan jelas sekali bukan 'menyentuh', tapi 'menepuk'. Beda tenaga yang kau keluarkan," omel Yuan.

Ryo berdecak ringan, "Sudahlah. Kenapa harus berdebat tentang hal kecil? Lagipula, yang dilakukan Nara tidak membunuhku, Yuan. Santai saja."
Yuan mengalah, meski masih jengkel. Rasanya ingin sekali ia menuliskan larangan dan menempelnya di depan mata Nara agar pemuda itu tidak macam-macam pada Ryo.

Latihan terus berlanjut dengan Ryo dan Yuan sebagai pengamat. Berkali-kali Ryo menawarkan diri untuk bermain, menunjukkan kemampuannya agar menjadi contoh bagi anggota klub lain. Namun, Yuan selalu mencegah dan Nara juga tak bisa berbuat apa-apa.

Mata Ryo berkeliling, mencari sosok yang sedari tadi tak tampak. Ia berusaha untuk tak terlihat penasaran, tapi matanya tak bisa berbohong.
"Kau mencari siapa, Ryo?"

Ryo menggeleng sambil berdecih. "Tidak. Tidak ada yang kucari."

"Aku bukan bocah yang dibodohi, Ryo. Kau cari Arash?"

"Sok tahu. Siapa yang mencarinya? Tidak ada urusanku dengannya. Untuk apa mencari?"

"Baguslah kalau tidak ada urusan dengannya, karena sekarang Arash tidak menjadi anggota klub bulutangkis kita lagi."

Ryo mengangkat alis. Rasa penasarannya tidak terbendung.
Tanpa perlu pertanyaan lanjutan dari Ryo, Nara lanjut menjelaskan. "Arash akan pindah dari kota ini. Kemarin dia izin dengan pelatih. Kebetulan ada aku juga, jadi dia berpamitan pula denganku. Katanya, ibu dan calon ayah barunya akan menikah. Jadi, mereka akan pindah rumah. Aku pun baru tahu kalau ternyata Arash itu selama ini tidak punya ayah."

Hati Ryo terasa nyeri saat mendengar kalimat terakhir Nara. Pemuda itu memang menyimpan kekecawaan yang sangat besar. Setiap kali mendengar nama Arash atau mengingat wajah sang ibu, ada amarah yang menyala di hatinya. Tak sudi lagi menerima kehadiran mereka yang bahkan tega pergi karena eksistensi dirinya. Namun, Ryo terus saja berusaha membohongi dirinya sendiri. Menciptakan benci yang sebenarnya menimbun rasa rindu pada kedua sosok yang sempat hilang dari hidupnya itu.

"Sayang sekali sih Arash mengundurkan diri. Padahal, dia itu sama sepertimu. Punya bakat yang luar biasa. Dilatih sedikit lagi dan ditingkatkan jam terbangnya lagi dalam pertandingan, maka dia bisa meraih prestasi sepertimu" Ocehan Nara masih terdengar, membicarakan Arash yang namanya kini menari-nari di kepala Ryo.

Suasana di antara mereka lengang. Nara kembali fokus pada latihan adik-adiknya. Ryo berusaha untuk mengikuti yang Nara lakukan, tapi sulit setelah tahu informasi tentang Arash.

SourireWhere stories live. Discover now