Satu

2.5K 165 13
                                    

Bukan impianku berada di sisi perempuan sepertimu.

Kata rumah seharusnya terdengar menyenangkan bagi setiap orang. Rumah akan membuat kita selalu ingin pulang, jika lelah beraktivitas seharian di luar. Namun bagi Zanna, rumah merupakan kegiatan yang harus dia hindari bagaimana pun caranya. Zanna menghela napasnya berkali-kali, sebelum dia memilih masuk ke dalam rumah minimalis berlantai dua.

Sebuah mobil sedan berwarna silver sudah terparkir manis di halaman rumah itu. Berarti dia sudah pulang.

Lelaki itu sudah pulang. Batin Zanna.

Zanna membuka pintu rumah, bersamaan dengan lelaki di depannya yang menunggu dengan bersidekap dada di ambang pintu.

"Jam berapa ini? tidak punya jam, eh?" cibir lelaki di depannya itu.

"Maaf Pak, saya ada tugas sama Alan," jawabnya lirih, dia tidak mampu menatap langsung ke mata elang milik lelaki di depannya itu, nyalinya menciut.

Aril. Lelaki itu bernama Aril, yang telah menikahinya dengan sangat terpaksa selama tiga bulan ini.

"Masuk, buatkan saya makan malam sekarang!" Zanna mengangguk, tapi Aril mencekal pergelangan tangannya, "mandi dulu, saya tidak ingin melihat kamu yang seperti ini."

"Baik Pak."

Zanna memilih pergi menuju kamarnya yang berada di lantai satu dekat ruang tv. Jika ada yang berpikir menikah itu menyenangkan, kalian salah besar.

Pernikahan yang di jalani oleh Zanna tidak menyenangkan, apalagi dengan Aril, dosennya sendiri. Sungguh ini di luar ekspektasi Zanna. Kedua orang tua Zanna telah meninggal dunia karena kecelakaan pesawat, mengakibatkan dirinya menjadi yatim piatu. Dia tinggal di rumah sahabat orang tuanya, yang sekarang sudah berstatus menjadi mertuanya. Zanna bahkan tidak bisa menolak, dia tidak punya hak untuk menolak keinginan Andre, Ayah mertuanya.

Bahkan tatapan permusuhan selalu berkobar di mata Aril, setiap kali dia melihat Zanna. Aril selalu menyalahkan Zanna, karena dia adalah penyebab Aril harus terbelenggu bersama Zanna dalam status pernikahan. Bahkan yang lebih terbelenggu di sini adalah Zanna bukan Aril. Yang rugi adalah Zanna, harusnya Aril sadar itu.

Tiga bulan pernikahan yang membuat hidup Zanna, bagaikan di buih. Setelah dia berada di rumah, dia tidak akan di perbolehkan keluar oleh Aril.

Maka dari itu, Zanna dengan segala keterbatasan waktunya, dia habiskan di kampus, bersama dengan Alan.

***

Aril memandang datar masakan yang di masak oleh Zanna. Dia duduk di kursi makan depan Zanna. Masakan yang di masak oleh Zanna, adalah makanan kesukaannya. Tumis daging paprika dan tumis wortel, brokoli.

Aril memandang Zanna yang sedang sibuk dengan piring di depannya, tanpa di minta Aril, dia sudah bergerak dengan cepat mengambilkan segala makanan ke piring Aril. Bahkan menuangkan jus jeruk dan air putih di gelas yang berbeda.

"Silakan Pak." Lagi-lagi panggilan Bapak tersemat dalam kalimat Zanna.

Tidak ada jawaban apapun dari Aril, dia menyuapkan sesendok daging paprika ke mulut. Aril mengunyah pelan, meresapi rasa daging yang lembut dan bumbu yang pas. Enak.

Zanna menggigit bibir bawahnya, menunggu reaksi yang di berikan Aril untuk masakannya. Jika Aril kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, berarti dia menyukainya. Zanna menghitung dalam hati. Satu.

Aril menyuapkan makanannya, dia benar-benar menyukai masakan Zanna. Melirik Zanna yang hanya diam menikmati makanannya. Rasanya rumah ini lebih sepi.

"Kamu ada tugas apa sama Alan?" Zanna mendongak, mencoba mencerna kembali pertanyaan Aril, dia berbicara dengannya atau berbicara sendiri? "Saya ngomong sama kamu Zan, saya nggak gila yang harus bicara sendiri!"

Zanna mengulum senyumnya dan mengangguk sekilas. Dia berusaha menghilangkan tawanya, nyalinya kembali menciut saat tatapan tajam Aril kembali menyapanya, seolah mengatakan apa maksudnya kamu tertawa? Cari perkara?

"Tugas kelompok yang di berikan Pak Budi." Zanna menunduk, dia tidak berani memandang Aril.

"Tatap mata saya, saya bicara sama kamu. Saya tidak suka kamu mengabaikan saya seperti ini." Zanna kembali menunduk, dia takut.

"Maaf."

"Ini yang saya benci, saya tidak pernah suka harus menikah dengan gadis bodoh seperti mu!" Zanna diam, "kenapa orang tua saya harus menyuruh saya menikahi kamu, sih? Bodoh!"

Sekali lagi umpatan itu terdengar nyaring di telinga Zanna. Tapi dia memilih diam dan diam. Tidak akan pernah menang untuk mengalahkan atau mendebat Aril. Sekali lagi diam itu diperlukan. Zanna tidak ingin membantah, walau itu hanya satu kalimat saja.

"Jangan pernah merasa dekat dengan saya di kampus, ingat itu!" Zanna hanya mengangguk. Dia bahkan tidak pernah berbicara apapun pada Aril, mungkin Aril terlalu malu karena menikahi Zanna.

***

Sinar matahari masuk ke celah jendela kamar Aril. Dia menggeliat, untuk meregangkan otot tubuh yang rasanya lelah. Matanya mengerjap beberapa kali, sebelum dia duduk di atas kasur empuknya. Nyawanya belum masuk sempurna.

Wedding Enemy (21+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang