Enam

1K 90 9
                                    

Rasa itu terasa hambar, namun ada rasa lain yang memprovokasi.

Aril memandang tajam ke arah Zanna dan Alan. Dua makhluk berbeda gender itu, sedang duduk berdua dan sangat akrab. Saat ini kelasnya masih berlangsung, namun kedekatan keduanya tak mampu membendung amarah dalam mata Aril. Dia mengetukkan telunjuknya di atas meja, berharap kedua orang itu mendengarnya. Sayang itu hanya angannya saja. Bahkan dia mampu melihat senyuman Zanna yang tulus.

Aril pernah mendapat senyuman itu, saat keduanya sedang melakukan hubungan itu. Ya, hubungan tanpa cinta yang membuat dirinya ketagihan. Memikirkan soal itu, ada yang memberontak di bawah sana. Aril menghela napas berat. Sesak.

Menyambar ponselnya, mencari nama Zanna di sana. Membuka room chat dengan Zanna, hanya segelintir pesan di sana. Dia mengetikkan sesuatu di sana.

Aril tampan rupawan no debat
Ke ruangan ku setelah kelas

Tidak ada balasan, bahkan membukanya saja Zanna tidak berminat. Dia terlalu asyik untuk tersenyum bersama Alan. Aril merasa terluka. Terluka? Kenapa terdengar lucu sekali. Aril tidak jatuh cinta pada Zanna.

Bel telah berbunyi, tandanya kelas Aril berakhir. Zanna memandang Aril yang menatapnya tajam, dia memikirkan segala kesalahannya. Hanya satu yang menjadi kesalahan terbesarnya, dia telah ehem itu menyerahkan dirinya pada Aril. Bodoh sekali, dia telah terpengaruh dengan pesona seorang Aril.

Zanna mengalihkan pandangannya ke arah Alan yang tiba-tiba membisikkan kalimat lucu, yang mampu membuatnya tersenyum. Zanna memanyunkan bibirnya, kala Alan memencet hidungnya dengan gemas. Aril yang melihat itu ingin sekali dia mematahkan tangan Alan saat ini juga. Aril benci tangan itu berada dimiliknya. Miliknya? Tidak salah, Zanna memang benar istrinya. Istri sama seperti milik.

"Zanna, kumpulkan tugas semuanya dan kamu yang harus membawanya ke ruangan saya!" titah Aril.

Kezammm kayak emak tiri, ah bukan suami tiri! Eh, suami mana ada yang tiri? Begok lo Zan.

"Zanna?"

"Eh, iya Bapak." Aril kembali memandangnya tajam.

Aril berjalan ke ruangannya, mengabaikan tatapan beraneka ragam dari para mahasiswanya. Aril memang seperti itu, irit berbicara. Bahkan dia tidak pernah tersenyum. Senyumnya itu mahal.

Pintu ruangannya dia buka, masih sepi. Mungkin dosen sebelahnya tidak masuk. Dia bisa untuk memonopoli Zanna sedikit saja untuk menaikkan moodnya.

"Bapak kalau senyum ngeri." Aril menatap tajam Zanna. "Maaf lupa ketuk pintu. Tok tok tok, permisi Bapak dosen, rakyat jelata mau masuk."

Zanna masuk dan menyimpan lembaran itu di meja Aril. Aril berdiri dan menarik lengan Zanna. Niat hati ingin merasakan bibir merah muda itu sececap.

"Oh, Pak Aril sudah datang."

Kampret! Gagal cipok gue.

"Zanna, ada perlu apa di sini?"

Perlu gue cipok, elo malah datang.

"Tugas ini Pak." Tunjuknya pada tumpukan kertas di sana.

"Kembali sana. Makan dulu sama temen-temen kamu, kali aja ketemu jodohnya. Ya kan Pak Aril?"

Gue lakinya woiy.

"Ah, itu yang ditunggu Pak. Permisi dulu ya Bapak Aril yang terhormat, Bapak Awan yang tiada tara baiknya. Zanna melipir pergi."

Zanna berlalu pergi, sebelum dia mendapatkan tatapan tajam dari Aril.

Zanna,awas kamu nanti di rumah. Gue buat Lo nggak akan bisa jalan besok.

***

Jangan lupa follow akun Instagram bunbun ya say. PrimasariLovexz. Bhay say





Wedding Enemy (21+) Where stories live. Discover now