Delapan Belas

679 70 4
                                    

Kehilangan itu tak enak, kenangan yang kau tinggalkan terlalu membekas.

.
.
.

Aril memejamkan matanya untuk menghalau segala amarah. Dia baru saja mengajak Zanna untuk makan bersama, namun Zanna menolaknya secara terang-terangan, tanpa embel-embel apapun. Mengucapkan kalimat terima kasih dengan sopan. Jangan lupa panggilan bapak itu kembali lagi.

Aril meremas kertas kosong di meja, dia harus terus berusaha mendekati Zanna kembali. Tidak boleh Zanna berjodoh dengan orang lain. Hanya Aril jodohnya Zanna.

Aril membuka laman pencarian, mengetikkan kalimat cara mendapatkan cintanya kembali. Menggulirnya sampai bawah. Pertama, harus memberikan kesan yang positif, agar pasanganmu kembali. Kedua, berilah dia hadiah yang akan membuatnya selalu teringat. Ketiga, ajaklah dia berbicara dari hati ke hati.

"Yang pertama gue nggak ngerti, yang kedua ... apa gue ajak dia skidipapap aja ya? 'Kan bakalan dia ingat terus."

Aril beranjak menuju pintu ruangannya, dia harus pulang. Dia akan memikirkan ide bagaimana membuat Zanna kembali padanya. Aril merasa haus, dia menuju kantin untuk membeli minum, siapa tahu Zanna ada di sana. Aril memesan dua minuman rasa kopi yang kekinian. Setelah membayarnya, dia berlalu pergi.

Aril berjalan ke taman belakang, mungkin ada Zanna di sana. Benar saja, Zanna sedang sibuk dengan laptop yang ada di pangkuannya. Aril mendekatinya tanpa bicara apapun, dia menaruh begitu saja minuman yang dia bawa tadi.

"Minum dulu, Zan." Zanna hanya diam tanpa berniat mengucapkan terima kasih. "Kenapa nggak diminum?"

Ya, karena gue nggak minat Bapak Aril yang terhormat. Gue muntahin tahu rasa Bapak!

"Saya nggak suka kopi, kalau Bapak lupa."

Satu kalimat yang berhasil membuat Aril sadar, selama ini dirinya tak betul-betul mengenal Zanna. Kopi adalah kesukaannya, lalu apa yang Zanna suka?

Alan datang membawa satu gelas minuman rasa strawberry, memberikannya pada Zanna, dia tersenyum bahagia. Sebagai timbal baliknya, dia berikan kopi yang Aril tawarkan tadi pada Alan.

"Buat lo, soalnya Pak Aril tahu lo suka kopi," ucap Zanna tanpa beban.

"Ya ampun, terima kasih banyak-banyak Bapak Aril, saya benar-benar terharu Bapak begitu memperhatikan saya." Dengan mata berbinar-binar.

Berbeda dengan Aril, dia memilih pergi. Satu kata yang tepat menggambarkan Aril saat ini adalah malu. Dirinya sangat malu luar biasa. Bagaimana dia tak ingat betul kebiasaan Zanna? Ah, satu yang sangat Aril ingat dari Zanna. Istrinya itu sangat suka mendesah di bawahnya, bahkan dia sangat ingat bagaimana suara Zanna jika seperti itu.

Astaga, memikirkan Zanna mendesah saja bisa langsung membangkitkan semuanya. Bahkan jiwanya yang lain berdenyut luar biasa. Aril menghela napas berat, dia lebih baik pulang dan mandi air dingin. Menetralkan segalanya yang bangkit.

Ponselnya berdering nyaring, tertera nama Andini di sana. Aril mengabaikannya, dia tak ingin lagi diganggu oleh Andini. Aril hanya menginginkan Zanna. Dia mengabaikan panggilan dari Andini, lebih baik dia masuk ke mobil.

"Bapak! Pak Aril," suara itu menghentikan langkah Aril. Dia menoleh ke belakang untuk memastikan jika dirinya tidak berhalusinasi.

"Bapak!" serunya lagi, dia benar-benar tidak berhalusinasi dan itu nyata. Zanna berjalan cepat menuju dirinya.

Aril menantikan Zanna dengan sangat sabar. Dia menunggu Zanna dengan wajah bahagia. Aril mengerutkan keningnya bingung, dia melihat Zanna mengatur napasnya lebih dulu sebelum berbicara. Ini aneh, jaraknya hanya 500 meter, ah, bukan, jarak mereka hanya 200 meter saja, namun kenapa Zanna bisa selelah itu?

"Pak, saya mau minta sesuatu," ucapnya pelan. Aril menantikan hal ini, menantikan Zanna berbicara dengannya berdua saja. "Pak, boleh nggak?"

"Kita bicara di mobil?" tawar Aril, tapi Zanna menggeleng, dia terlihat lelah.

Netranya mengedarkan ke sekitar, ada tempat duduk di ujung sana, lumayan untuk berbicara sejenak. Zanna menunjuk tempat duduk itu dengan tangannya, meskipun berat hati, Aril menyetujui. Sesekali Aril memandang wajah Zanna yang terlihat agak pucat. Aril mengkhawatirkannya.

"Zan, are you okay?" Zanna mendongak menatap Aril yang hanya berdiri saat sudah sampai tempat duduk.

"Ya, memangnya saya kenapa?" Aril menggeleng, dia lebih menempelkan punggung tangannya ke kening Zanna untuk mengecek sendiri suhu tubuh Zanna.

"Nggak papa, kamu normal kok. Jadi ada apa?" tanya Aril.

"Mungkin saya akan jarang masuk kelas Bapak, tapi  ... boleh nggak saya minta salinan catatan dan tugasnya dari Bapak?"

"Kamu mau ke mana?" Zanna hanya diam. "Kamu nggak berniat ingin pulang aja ke rumah kita?"

"Itu rumah Bapak, saya nggak berhak di sana. Lagipula, Bapak sudah usir saya dari sana."

Benar, Aril yang sudah mengusir Zanna dari sana. Sekarang dia menyesal. Bodohnya Aril tak tertolong, lalu mengapa dia bisa jadi dosen jika seperti ini? Masalah begitu saja dia tak bisa atasi sendiri.

"Kamu tinggal di mana sekarang, Zan?" Zanna hanya terdiam, tak berniat memberitahu Aril. "Zanna, kamu tinggal di mana sekarang? Kenapa nggak pilih kembali aja sama aku?"

Zanna terdiam cukup lama, dia tak mungkin kembali lagi, meskipun hatinya sangat ingin memeluk Aril seperti dulu. Keinginan untuk memeluk Aril saat ini sangat besar, entah ini hormon karena kehamilannya atau keinginan anaknya, Zanna tidak tahu. Dia tak bisa berbuat apa-apa lagi.

Dia memandang sekitarnya yang sudah sepi, tak mungkin dia meminta Aril memeluknya saat ini juga. Zanna menangis terisak, antara hormon dan egonya yang tinggi. Zanna menangis membuat hati Aril sakit. Dia merasa sangat-sangat bersalah terhadap Zanna. Aril memapah Zanna menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari kursi itu. Sekitarnya sudah semakin sepi, jadi tak masalah jika dia mengajak Zanna ke mobil berdua saja.

Aril mengajaknya duduk di kursi belakang. Aril memeluk Zanna erat, dia juga rindu. Tapi tangisan Zanna semakin menjadi. Aril bingung, apa yang harus dia lakukan sekarang.

"Zanna, pulang ya," bujuk Aril.

"Bapak sudah usir saya dari rumah, Bapak juga sudah gugat saya," isaknya terdengar memilukan. Aril memejamkan matanya, dia sangat tidak berprikemanusiaan.

Aril terus menerus memeluk Zanna, sesekali dia mengusap rambut Zanna dengan lembut. Akhirnya Zanna bisa memeluk Aril, dia bahagia. Namun satu yang membuat dirinya ingin mual, harum parfum mobil Aril yang sangat kuat, membuatnya ingin muntah.

Zanna melepaskan pelukan mereka, dia memutar badan dan keluar dari mobil. Memuntahkan cairan bening yang membuatnya sedikit lega. Astaga bagaimana dia bisa mual dengan mencium bau seperti ini saja. Bahkan di depan Aril yang sudah dia tahan-tahan.

"Zanna," panggil Aril, dia mengikuti Zanna keluar. "Kamu kenapa? Sakit?"

"Bau mobil Bapak nggak enak banget. Ada kaus kaki ya, di sana?" Aril melotot.

Aril orangnya sangat bersih, tidak pernah sekalipun kaus kaki bau ada di sana. Aril mengecek sendiri untuk masuk ke mobil dan baunya tetap sama, harum aroma jeruk melekat di sana. Aril tak mencium bau kaus kaki.

"Bapak, saya pulang aja ya, jangan lupa pesan saya. Makasih banyak Pak." Zanna melambaikan tangannya dan menjauh dari mobil Aril.

Zanna nggak ada salah cium yang lain 'kan? Atau mungkin bau tubuh Aril? Dia mengendus baunya sendiri, mengangkat ketiaknya dan tercium bau sesuatu. Aril baru ingat, jika dirinya belum mandi tadi pagi. Astaga, Zanna mencium ketiak Aril dan muntah-muntah. Bodoh Aril bodoh.

***

Pak Aril lupa mandi🤣🤣🤣 anaknya menolak untuk mendekat loh, Pak.


Wedding Enemy (21+) Where stories live. Discover now