Tujuh Belas

779 90 2
                                    

Begini lebih baik, daripada aku harus terluka dan mati.
.
.
.

Aril berjalan mondar-mandir di kamarnya, dia belum bisa menemukan keberadaan Zanna di manapun. Hanya surat cuti yang dia terima di kampus. Zanna cuti untuk apa? Untuk menghindari dirinya? Lalu bagaimana dengan pendidikannya? Berhenti begitu saja? Tidak boleh dibiarkan. Zanna harus menjadi sarjana.

Aril membuka lemari pakaian, dia membutuhkan baju Zanna untuk ketenangannya. Tiga hari sejak kepergian Zanna, dirinya tak dapat tidur dengan nyenyak. Hanya baju Zanna yang bisa membantunya tidur dengan nyaman.

Baru saja akan terlelap, ponselnya berdering, siapa lagi kalau bukan Andini. Hanya nada dering yang dia setting berbeda untuknya. Andini selalu menghubunginya, tentunya karena Andini sedang di masa menginginkan seseorang untuk menghangatkan ranjangnya. Aril mengabaikannya. Dia tak ingin bermain terlalu jauh, Andini membahayakan.

"Zanna, tunggu aku mencarimu dan kita akan hidup bahagia." Aril memejamkan matanya untuk menyambut alam mimpi.

Dilain tempat, Zanna sedang menonton film kesukaannya. Tidak ada lagi Aril yang mengganggunya nonton. Jika ada Aril, bisa dipastikan dia tak akan berada di ruangan ini, hanya berada di kasur dan melayani Aril. Zanna menghela napas berat. Dia lagi-lagi teringat akan Aril.

"Andaikan dia tahu kehamilanku, pasti akan menyuruhku menggugurkannya. Dia nggak suka anak kecil, katanya merepotkan." Zanna mengusap perutnya yang rata.

Cutinya terlalu lama, dia bosan. Mungkin seharusnya dia kuliah saja. Itu lebih baik, dia harus segera menjadi sarjana dan mendidik anaknya agar cerdas.

***

Zanna memasuki kampus dengan berjalan pelan, suasananya tetap sama, tak ada yang berubah. Dia memperhatikan pakaiannya kali ini, perutnya belum nampak, jadi masih aman. Tidak perlu bersembunyi dari Aril.

Ada seseorang yang menyenggol bahunya, untung saja dia tak terjatuh. Zanna memandang seseorang yang berdiri di depannya tanpa meminta maaf. Aril. Dia membulatkan matanya menatap Zanna. Tak percaya jika Zanna benar-benar ada di kampus. Zanna memilih pergi, ini masih terlalu pagi.

"Zanna!" panggil Alan. Dia berlali menghampiri Zanna, mengabaikan Aril yang berdiri menatap tajam keduanya.

"Ya ampun, beberapa hari ini lo semedi di mana? Oh, iya, gue udah rangkumin lo beberapa matkul selama ini." Alan menyerahkan beberapa kertas HVS di tangan Zanna.

Zanna membalasnya dengan senyuman, yang mampu membuat Alan berbunga-bunga. Berbeda dengan aura yang diperlihatkan oleh Aril. Dia benci Zanna tersenyum seperti itu di depan lelaki lain.

Kalau untuk tulisan cakar ayam aja dikasih, gue bisa aja ngasih semua kunci jawaban ujian, kalau lo mau balik sama gue, Zan.

Zanna menoleh ke belakang, ada Aril yang memandangnya tajam. Zanna mendekat, dia teringat satu map yang diberikan mami padanya kemarin. Harus benar-benar diberikan untuk Aril.

"Ini untuk Bapak, terima kasih semuanya." Zanna berlalu dan memasuki kelas.

Aril membukanya, ada tulisan tangan Zanna dan beberapa lembar yang belum dilihatnya lagi. Masih ada waktu sebelum kelas dimulai, dia menuju ruangannya. Membaca tulisan Zanna.

Wedding Enemy (21+) Where stories live. Discover now