Dua

1.3K 144 20
                                    

Hatiku sudah tidak dapat dibuka lagi, tapi namamu boleh pergi jika mau.

Zanna berjalan menuju perpustakaan di ujung koridor. Dia harus mencari buku referensi untuk tugasnya yang diberikan oleh Aril. Dan pengumpulan tugasnya pun tak main-main. Zanna berjalan ke arah belakang, melewati beberapa temannya yang juga mencari buku.

Zanna mendongakkan kepalanya ke atas, buku yang dia cari ada di sana, paling atas. Tinggi badan sepertinya pun tak akan cukup untuk mengambilnya. Zanna menghela napas berat.

"Nih." Buku yang diincar Zanna telah ada di tangannya. "Bilang tolong kalau perlu."

"Makasih Alan," ucap Zanna disertai senyuman. Alan mengacak rambut Zanna gemas.

Mereka berdua memilih duduk di dekat jendela. Saling tatap dan kemudian terkekeh bersama. Mereka kemudian diam dan sibuk dengan buku yang mereka incar masing-masing. Tugas ini harus dikumpulkan hari ini juga.

"Gue males banget ngerjain tugasnya pak Aril, dih, sombong banget itu orang," ucap seorang perempuan di belakang Zanna.

"Elo mah enak, tinggal ngomong sama bokap lo, semua beres! Lah gue? Bokap gue aja kerjanya serabutan," timpal perempuan di sampingnya.

"Ya, kalau gitu, lo kerjain tugas gue! Gue bakalan bayar lo!" Zanna hanya menggeleng perlahan.

Andaikan dia bisa berkeluh kesah kepada orang tua, dia ingin. Hanya saja keluh kesahnya tidak akan didengar oleh kedua orang tuanya, mereka telah meninggal. Zanna hanya diam dan kembali mengerjakan tugasnya.

Suara riuh dari arah pintu masuk perpustakaan, tak membuat Zanna goyah untuk melepaskan diri dari kenyamanan tugas ini. Dosen muda yang sangat terkenal dingin mampu membuat perempuan menjerit tertahan hanya karena tatapannya, kini bertandang ke perpustakaan. Mata elangnya mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari sosok istri, ya, istrinya yang tidak ada kabar siang ini. Berkali-kali dia menghubungi Zanna, namun hasilnya nihil. Zanna tidak mengangkat panggilan darinya.

"Zanna, gue udah nih, lo?" tanya Alan.

"Udah Lan." Zanna menutup buku tebal di depannya.

"Sini gue aja yang kumpulin tugasnya pak Aril, lo langsung pulang aja nggak papa." Zanna mengangguk, itu lebih baik dari pada dia harus bertemu dengan Aril.

Alan lebih dulu pergi, Zanna tercengang saat melihat Aril memandangnya tajam, siap untuk menyemburkan segala macam cacian untuknya. Dia berjalan mendekat dan menunjukkan ponsel yang dia bawa di depan Zanna.

"Hubungi Mama!" Zanna mengangguk. Dia berjalan menuju pintu keluar, mencari ponsel yang selalu dia simpan dalam tas. Matanya melotot, kala melihat panggilan tak terjawab dari Aril sebanyak tiga puluh kali. Hebat sekali. Ini adalah rekor terbanyak hari ini.

"Halo Mama," sapa Zanna, saat panggilannya terjawab. "Maaf, tadi ada kelas."

" .... "

"Iya, Ma. Hari ini juga Zanna ke sana." Zanna menutup teleponnya. Dia harus berjalan menuju halte, mencari angkutan atau bus yang akan membawanya ke rumah mertua.

***

"Kamu kapan datang?" tanya Aril, saat dia melihat Zanna membukakan pintu untuknya.

"Baru saja, Pak."

"Kamu belum mandi ya?" Zanna diam tanpa menjawab pertanyaan Aril.

Saya tayamum, Pak, tayamum!

"Permisi, Pak!" Zanna melenggang begitu saja menuju kamarnya. Dia tidak ingin mendengar cacian dari Aril secara gratis. Berbayar saja dia juga tidak mau.

Alih-alih mandi, dia merebahkan tubuhnya di kasur, dia lelah. Memandang foto pernikahan sederhana antara dia dan Aril yang terpampang dengan jelas di dinding kamarnya. Andaikan dulu dia menolak dengan tegas pernikahan ini, dipastikan dia akan menjadi gelandangan.

Suara ketukan di pintu kamarnya,  membuat Zanna segera berlari menuju kamar mandi. Selalu seperti ini. Itu pasti Aril, siapa lagi yang paling suka mengganggunya kala santai. Tidak mempedulikan gedoran yang semakin menjadi, Zanna menikmati guyuran air hangat.

"Wah, hebat! Saya kira kamu tadi tidur," sindir Aril.

"Bapak ngapain masuk kamar saya?" Zanna mendeteksi barang-barangnya yang bisa saja membuat Aril marah.

"Ini tugas kamu. Saya salut dengan hasilnya." Menyerahkan lembaran kertas yang dia beri nilai A+. "Pertahankan."

Zanna mengangguk, dia duduk di kursi belajarnya. Meraih buku yang telah terbuka, dia mendapat satu surat tanpa pengirim.

Dear Zanna,
Bolehkah aku mencintaimu?
Bolehkah aku terus memandangku

Aril menarik paksa surat yang dibaca oleh Zanna, dia meremasnya dan membuangnya ke tong sampah. Mencengkram erat pipi Zanna.

"Ingat baik-baik status kamu! Jauhi laki-laki lain, ngerti!"

***

Wedding Enemy (21+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang