Delapan

1.1K 85 6
                                    

Mengharapkan seseorang tidak mencintai kita, akan lebih menyakitkan.

Seorang perempuan berambut pirang, berjalan menggeret kopernya menuju taksi yang sudah menunggunya. Melepaskan kacamata hitam yang bertengger manis di hidung mancungnya. Dia tersenyum sumringah.

"Haiy Aril, siap untuk kembali ke pelukanku," lirihnya.

***

Aril bukanlah lelaki yang akan diam saja, saat dirinya melihat dengan jelas, siapa saja yang menaruh hatinya pada Zanna. Terutama Alan.

Mahasiswanya sendiri menaruh hati pada istrinya, istri kecilnya itu. Alan bahkan menghampiri dirinya di ruangannya yang sepi.

"Ya?"

Alan hanya diam, bahkan Aril mempersilahkan dirinya untuk duduk tanpa bicara. Hanya tangannya yang bergerak.

"Apa benar, Bapak sudah menikah dengan Zanna?"

Lalu ada hubungannya apa jika Zanna sudah menikah dengannya? Dia bukan siapa-siapa Zanna. Lagipula pernikahan itu sudah berjalan sejak tujuh bulan yang lalu.

"Saya harap, Bapak bisa membuat Zanna bahagia. Permisi."

Aril hanya diam, saat Alan pergi. Hatinya tak tenang, dia segera pergi menyusul Alan yang berjalan menuju taman belakang. Di sana, Aril melihat Zanna sedang duduk dan sibuk dengan laptopnya.

Alan tersenyum dan mengacak pelan rambut Zanna, bahkan Aril tidak pernah seperti itu.

Zanna tersenyum, dan memberikan laptop di pangkuannya untuk Alan, dia membaca apa yang di tulis Zanna dengan senyuman yang mampu menularkannya pada Zanna. Zannanya tersenyum pada lelaki lain, pada lelaki yang berani bertanya di ruangannya tentang Zanna. Aril cemburu. Oh bukan, Aril murka.

Alan memberikan laptop itu kembali, Zanna mengotak atik sebentar, lalu dia tutup.

"Boleh aku peluk kamu?" Mata Zanna mengerjap bingung.

Pertanyaan itu tidak di jawab oleh Zanna. Dia hanya diam dan Alan mengartikan diamnya Zanna berarti iya. Alan memeluk Zanna yang hanya diam, tanpa membalasnya.

Hati Aril sudah panas, dia melangkah dan menarik Zanna dari pelukan Alan, memberikan bogeman mentah secara percuma untuk Alan. Hingga dia tersungkur ke tanah.

"Itu untuk orang yang berani memeluk istri orang!" sungutnya.

Menarik Zanna menuju mobilnya. Aril bahkan menghiraukan bisik-bisik para mahasiswinya yang tengah membicarakan dirinya yang menarik Zanna.

Aril menahan letupan emosinya, dia menggenggam stir erat-erat, mode diam dan dinginnya kembali menyala.

"Pak?"

Tidak ada balasan apapun dari Aril.

"Mas?"

"Diam kamu! Dasar perempuan murahan, mau saja di peluk sama Alan." Zanna hanya diam, dia benar-benar merasa bersalah, "Mulai sekarang, kamu kembali tidur di kamar kamu, saya muak sama kamu!"

Aril membanting pintu mobil, membuat Zanna mengurut dadanya kaget. Baiklah dirinya memang bersalah, tapi ... haruskah Aril mengatakannya murahan.

Zanna menangis, menumpahkan segala kesedihannya, meratapi nasib pernikahannya dengan Aril. Dia tidak pernah meminta untuk menikah dengan Aril, dia juga tidak pernah mengekang Aril dalam sebuah hubungan pernikahan. Haruskah dia memberontak.

"Mama, Papa ... Zanna nggak murahan!"

***

Aril berdiri mematung, dia tak percaya dengan apa yang di lihatnya saat ini. Perempuan itu berdiri di sana, masih sama saat dia yang meninggalkan Aril dulu.

Andini, perempuan yang meninggalkan dirinya, di saat masa-masa pemaksaan pernikahannya. Andini meninggalkan dirinya, karena mendapatkan pekerjaan di Jakarta sebagai seorang HRD di perusahaan asing.

Mengabaikan Aril yang ingin menikahinya, baginya karier lebih penting daripada dia harus terjebak dalam sebuah ikatan pernikahan.

Aril menghela napas sejenak, dia benar-benar tidak percaya. Andininya kembali, bahkan telah memeluknya erat seperti dulu.

Hati Aril bergejolak, dia bahkan telah melupakan siapa istrinya, siapa Zanna. Yang ada dalam ingatan dan hatinya saat ini adalah Andini. Andini Novela. Cinta pertamanya.

***

Zanna menghela napas sejenak, berkali-kali Aril mengabaikan dirinya, bahkan ini sudah hari kedua dia tidak pulang ke rumah. Satu yang membuat Zanna bahagia, dia tidak harus meladeni nafsu Aril setiap saat.

Zanna memilih pergi, saat Aril sudah pergi mengendarai mobilnya. Dia harus segera bertemu dengan Alan untuk membahas bab terakhir novelnya.

Zanna dan Alan akan bertemu di cafe dekat rumah Zanna. Di sana Alan sudah duduk manis dengan laptop di depannya. Tersenyum saat Zanna menghampiri dirinya.

"Maaf telat." Alan menggeleng, lalu mempersilakan Zanna duduk.

Zanna memberikan flashdisk miliknya pada Alan. Kembali tersenyum manis hanya untuk Zanna. Biarkan dia menikmati senyuman itu, walaupun dia sudah milik orang lain. Alan memang harus mengalah. Dia sudah menguatkan hatinya untuk melihat Zanna bahagia dengan Aril.

"Sudah bagus ini, sesuai permintaan penerbit kita Zan, well ... aku harus kembali dulu, tunggu kabar cetaknya dari aku ya."

Zanna mengangguk, lalu Alan berlalu begitu saja. Sepi kembali merayap hati Zanna. Dia menengok saat suara dentingan bell dari pintu berbunyi, tanda ada pelanggan yang masuk.

Zanna bahkan berdiri dari tempatnya, di sana dia melihat Aril sedang bergandengan tangan dengan seorang wanita yang sangat cantik dan anggun, berjalan mendekat kearahnya.

"Pak Aril?" lirih Zanna yang mampu di dengar keduanya.

"Siapa kamu beb?" Andini memandang Aril dan Zanna bergantian.

"Istri yang tidak pernah ku harapkan."

Pernyataan itu mengoyak hati Zanna. Meninggalkan Zanna dengan senyuman bahagia saat bersama Andini. Zanna sadar, jika dia tidak akan pernah mendapatkan hati seorang Aril Hermawan.

***

Wedding Enemy (21+) Where stories live. Discover now