Empat belas

1K 68 21
                                    

Aku memang hanya sesaat bagimu, selanjutnya aku hanya ampas yang kau buang.
.
.
.

Happy reading

Andini tersenyum bahagia, kala Aril menciumi seluruh tubuhnya. Bagian paling sensitif miliknya adalah cupcake ukuran C. Andini benar-benar dibuat melayang oleh sentuhan Aril yang sangat dia dambakan beberapa hari ini. Keahlian Aril yang patut diacungi jempol.

Jemari Aril bergerak turun dan membelai paha bawahnya, menyusuri lembahnya hingga ke dalam. Perlahan membuat gerakan memutar. Satu teriakan dengan disertai cairan yang membuat Aril tersenyum. Andini berhasil mencapai puncaknya, hanya dengan permainan jari Aril di sana.

"Baby, i want you now! Please!!" pintanya.

"Yes Baby, i'm coming."

Aril menahan berat tubuhnya dengan satu kaki, dia menundukkan tubuhnya agar mudah memasuki lembah Andini. Dengan satu hentakan kasar, dia berhasil masuk sepenuhnya. Aril mendiamkan miliknya beberapa saat, dia memandang wajah sayu Andini. Sekelebat wajah itu berubah menjadi wajah Zanna yang kelelahan karena dia gempur.

"You look so beautifull, Baby." Aril semakin bersemangat memaju mundurkan miliknya di dalam sana, membuat Andini tak kuasa menahan segala hujaman kenikmatan yang tak dapat dia tahan.

Aril kembali membuat Andini melayang dengan berbagai gaya. Ini yang Andini inginkan dan tak dapat dia peroleh dari lelaki manapun selain Aril. Aril benar-benar kuat segalanya.

Tiga puluh menit lamanya Aril menghujami Andini dengan berbagai gaya dan beberapa kali Andini mencapai puncaknya. Andini benar-benar kewalahan. Satu kali hentakan mendalam, Aril telah mencapai puncaknya. Dia mengatur napasnya sejenak dan limbung ke samping Andini.

"I love you Ril," ucap Andini. Sayangnya Aril telah berkelana ke alam mimpi.

***

Zanna menata barang-barang mami Aril ke dalam tas. Memandang jam dinding yang menunjukkan jam sepuluh pagi, tapi Aril tak kunjung datang.

"Aril nggak datang ya, dari semalam?" tanya mami Aril.

"Mas Aril  ... datang kok, Mi. Cuma sebelum Mami bangun, udah harus berangkat."

"Kamu nggak lagi berbohong 'kan, Zan?" Zanna tersenyum, dia membantu mami Aril memakaikan sweaternya.

"Ayo Mi, papi palingan sudah selesai dari ruang dokter."

"Halah, pak tua nggak tahu diri itu, kenapa masih ada di sini, sih? Mami udah ngusir dia berkali-kali loh. Kenapa masih ngendon aja dia." Zanna hanya tersenyum, "udah bertelur belum Zan, pak tua itu?"

Zanna tertawa mendengarnya, dia membantu mami Aril turun dari bed dan memapahnya dengan lembut.

Di pintu depan, Zanna melihat Alan sedang berbicara dengan papi Aril. Mereka tertawa bersama, terkadang terlihat serius.

"Siapa laki-laki muda itu?" tanya mami Aril.

"Alan, teman Zanna, Mi, sekaligus editor Zanna." Mami Aril mengangguk.

"Ganteng juga, ya? Kalo kamu anak kandung mami, udah pasti bakalan mami jodohkan sama dia," bisik mami Aril.

Akan yang mendengarnya hanya tersenyum, tapi hatinya sungguh berdebar kencang. Alan menghampiri Zanna dan membantu membawakan tas besar milik mami Aril. Alan menggenggam tangan Zanna.

"Gadis cantik seperti kamu, jangan bawa yang berat-berat. Biar aku aja." Alan mengedipkan satu matanya ke arah Zanna.

"Aduh, mami mau punya anak perempuan aja, mau jodohin sama kamu," ucap mami Aril dengan gemas.

"Kalau Tante masih muda, saya mau sama Tante," goda Alan.

Aril yang baru saja datang, dia memandang Alan menyentuh tangan Zanna. Aril berjalan dengan langkah lebar menuju Zanna berdiri. Dia menarik kerah baju Alan, sungguh itu membuatnya emosi.

"Maksudnya apa pegang-pegang tangan istri orang?" Alan hanya tenang memandang Aril.

"Mas, lepasin Alan. Kamu kenapa marah-marah?" Zanna mencoba melerai perdebatan sengit keduanya.

Aril mendorong Alan hingga terjatuh ke lantai, dia menarik tangan Zanna untuk menjauh dari sana. Aril cemburu dengan sangat jelas. Tapi Zanna juga butuh penjelasan dari Aril, ke mana dia semalaman? Lupa alamat atau bagaimana?

"Kamu--" belum sempat Aril berbicara, Zanna sudah memotongnya.

"Mas ke mana aja semalaman nggak pulang?" Mata Zanna memicing, "itu rambut kenapa bisa acak-acakan? Nggak mandi?"

Skakmat. Aril hanya diam tanpa bisa menjawab. Dia baru sadar tadi pagi, dia terbangun dengan telanjang dan aroma percintaan semalaman. Tetapi bukan dengan Zanna, melainkan dengan Andini. Bodoh? Jelas saja bodoh. Dia khilaf? Sepertinya dia juga menikmati percintaan itu semalaman. Dia yang mendominasi permainan itu.

Tadi pagi Andini dengan tidak tahu malunya, menunjukkan video yang dia ambil secara diam-diam semalam. Dengan ancaman harus menceraikan Zanna dan menikahinya. Kalau tidak, dia akan menyebarkan video itu ke keluarga Aril. Terutama maminya yang punya riwayat penyakit jantung. Aril tak dapat berkutik.

"Kamu rendah, hanya disentuh Alan saja, kamu bisa tersenyum? Murah sekali kamu."

***

Wedding Enemy (21+) Where stories live. Discover now