Fixated

2.1K 380 28
                                    

.
.
.
.
🌷🌷🌷

Draco mengecup bibir Harry, rasanya dingin, mata Harry tertutup dan tidak secerah biasanya. "Tolong jangan pergi dalam diam, kumohon berjuanglah". Gumam Draco sambil mengelus pipi Harry.

Sudah enam hari sejak Harry terbaring dikasurnya. Kondisinya tidak menentu, terkadang Harry bisa saja membaik, namun tiba-tiba kondisinya menurun dan membuat Draco tidak tega melihat Harry yang terbangun tengah malam karena merasakan sesak napas.

"Kau mau kemana?". Harry membuka matanya ketika merasakan Draco telah beranjak dari kasur.

"Aku hanya ingin mengambil minum untukmu", jawab Draco tersenyum mengelus pelipis Harry.

"Jangan pergi". Kata Harry dengan suara lemah.

"Aku tidak pergi, aku selalu ada disini untukmu". Draco segera keluar dari kamar untuk mengambilkan segelas air.

Mengambil beberapa makanan lainnya lalu kembali kekamar.

"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu". Kata Harry ketika Draco telah berbaring disampingnya dan menenggelamkannya dalam sebuah pelukan.

"Kau ingin mengatakan apa hm?". Tanya Draco sambil mengecup pucuk kepala Harry.

"Maafkan aku". Ucap Harry dengan mata yang terpejam.

"Maaf untuk apa?". Draco menghirup dalam-dalam aroma rambut Harry.

"Maaf karena aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak jatuh cinta padamu". Harry menarik napasnya dalam ketika merasakan sesak di lubuk hatinya. "Harusnya aku tak lakukan itu". Lanjutnya.

Draco menjauhkan tubuh Harry lalu memperhatikan mata Harry yang terpejam, "tidak, akulah yang harus meminta maaf, aku terlalu lama menyadari perasaanku sendiri, dan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri karena telah membuat air matamu jatuh karena aku".

"Jika aku pergi, ingatlah aku tapi jangan terpaku padaku, hidupmu harus terus berjalan". Harry membuka kelopak matanya lalu menyentuh wajah Draco dengan tangan dinginnya.

"Memangnya kau mau pergi kemana?". Dragon balas menggenggam telapak tangan Harry.

"Sakitku parah, jadi tolong dengarkan aku".

Draco mengecup punggung tangan Harry, "kau tidak akan pergi kemana-mana, kita akan selalu bersama dan hidup bahagia".

"Tapi itu tidak akan terjadi jika aku mati". Kata Harry menatap Draco dalam.

"Apa yang kau bicarakan? Jangan bicara seperti itu, kau akan sembuh, kita akan menikah, kita akan punya anak, kita akan bahagia". Draco kembali memeluk tubuh Harry lalu mengecupi wajahnya.

"Aku hanya takut kau tersakiti Draco. Kau tidak bisa memaksa kehendak Tuhan".

Draco tidak menjawab, terlalu sibuk untuk memeluk Harry erat. Saat ini perasaan yang Draco tidak inginkan sudah muncul. Perasaan yang mengatakan bahwa Draco akan kehilangan Harry. Dia bahkan tidak bisa membayangkan hal itu terjadi.

🌹🌹🌹

"Perasaanku tidak enak". Pansy bergumam.

"Ada apa?". Tanya Astoria sambil menyuapi putrinya yang sudah berusia 2 tahun.

Siang itu Pansy berkunjung kerumah kakaknya untuk membicarakan sesuatu dan tentunya untuk melihat keponakannya.

"Tidak ada surat balasan dari Harry setelah satu minggu lebih". Kata Pansy dengan raut wajah khawatir, "terakhir kali dia bilang Draco bersamanya, itu bagus. Tapi kenapa ada hal lain yang mengganjal dihatiku".

"Mungkin kita harus mengirimkan surat lagi padanya". Balas Astoria.

"Aku takut, aku ingin bertemu dengannya, aku tidak puas hanya dibalas dengan surat". Pansy menghela napas.

"Harry itu.... Dia adalah yang terbaik diantara kita, dia tidak pernah mengeluh, dia sangat baik, terlalu baik untuk tidak mengalah". Astoria kembali mengingat masa-masa dimana mereka berempat sering menghabiskan waktu bersama.

"Aku merindukannya, aku merindukan semuanya". Pansy memijit pangkal hidungnya, "aku tidak percaya masa kanak-kanak sudah berakhir".

"Dan kuharap akan berakhir dengan indah".

🌹🌹🌹

"Draco". Panggil Harry pada Draco yang duduk di pinggir tempat tidurnya.

"Ada apa? Kau membutuhkan sesuatu? Atau kau merasa sakit? Apanya yang sakit?". Balas Draco secara bertubi-tubi yang membuat Harry terkekeh geli.

"Tolong tuliskan surat pada Pansy, katakan aku baik-baik saja dan akan segera pulang minggu depan".

Kening Draco berkerut, "kenapa kau tidak bilang yang sebenarnya saja?".

Harry menggeleng, "tidak bisa, itu akan membuat mereka khawatir, aku tidak mau menyusahkan mereka".

"Kenapa kau sangat baik?".

Harry tersenyum, "apa itu adalah sebuah pertanyaan?".

"Ya, seperti yang kau pikirkan".

"Aku tidak tau harus menjawab apa dari pertanyaanmu, aku hanya berusaha menjadi diriku sendiri, dan mengikuti kata hatiku".

"Memangnya hatimu bilang apa?". Tanya Draco lagi.

Harry tersenyum lembut, "hatiku bilang, berikan cinta pada orang lain selagi kau bisa".

Draco menatap Harry lama, mengagumi betapa indahnya makhluk dihadapannya ini. Lebih indah dari mawar merah yang mekar diantara tetesan salju.

"Kau tau? Terkadang kau membuatku berpikir, apakah aku pantas untuk bersanding dengan semua keelokanmu". Draco mengelus pipi hangat Harry.

"Paras tidak bisa dibandingkan dengan hati".

"Boleh aku menciummu?".

"Aku tidak mau jawab". Harry memalingkan wajahnya yang merona.

"Aku tidak perlu jawaban". Draco tersenyum.

Sedetik kemudian, bibir mereka telah menyatu, membagikan perasaan yang mereka rasakan satu sama lain. Menyalurkan kehangatan yang berasal dari hati yang terdalam.

Tapi ingatlah, tidak ada yang tau bagaimana kehendak yang Maha Kuasa.

To be continue

.
.
.
.

🌷🌷🌷

The Night We MetWhere stories live. Discover now