A Picture

2K 366 10
                                    

.
.
.
.
🌷🌷🌷


"Kenapa jadi patah?!". Harry memukul bahu Draco berulang kali ketika diberikan kejutan pensil kesayangannya yang telah hilang bertahun-tahun dalam keadaan patah tulang.

Draco tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Harry yang menggemaskan baginya, "aku tidak sengaja menginjaknya".

"Ck! Sudahlah simpan saja di laciku". Pungkas Harry.

Draco menurut lalu menyimpan pensil itu, kemudian duduk di pinggir kasur menatap Harry sambil tersenyum.

"Apa yang kau lakukan?". Tanya Harry.

"Menatapmu".

"Apa kau tidak punya pekerjaan lain?".

"Kau mau aku melakukan apa?".

"Membantu Ayahmu bekerja-"

"Itu tidak menyenangkan". Potong Draco lalu memutar bola matanya.

Harry menatap Draco lekat, "Draco".

"Ya?".

"Bukalah lemariku dan temukan sebuah mantel berwarna coklat, lihat sakunya, itu untukmu". Jelas Harry.

Mendengar hal itu Draco langsung berjalan menuju lemari, membukanya lalu menemukan sebuah mantel berwarna coklat dengan aroma coklat, merogoh sakunya dan menemukan selembar kertas disana.

"Kuharap kau mau menyimpannya untukku". Kata Harry.

"Tentu saja, tanpa disuruh juga aku akan menyimpannya, jika perlu kupajang dikamarku". Draco tersenyum melihat kertas itu, kertas yang berisi gambaran dirinya yang sedang berdiri di pinggir pantai sambil memandang arus ombak.

"Jangan berlebihan". Balas Harry menanggapi kedramatisan Draco.

"Kurasa aku tidak memajangnya, aku akan membawanya di sakuku setiap hari". Kata Draco dengan nada serius.

"Draco". Harry menghela napas jengah.

🌹🌹🌹

Harry merasa sangat bosan saat ini, terbaring diatas tempat tidur bukanlah sesuatu hal yang dia inginkan. Harry menoleh kesamping lalu tersenyum, dia melihat sebuah piano yang sudah cukup lama tidak dia mainkan. Piano yang sangat berharga baginya, hadiah dari Paman Sirius.

Harry menyingkirkan selimutnya, bangkit dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju pianonya.

Dengan senyum manis yang terukir jelas di pipinya, Harry mulai mencoba untuk menekan tuts piano. Tapi seketika senyuman itu luntur, jari-jarinya terasa kaku, tangannya mati rasa. Harry masih berusaha untuk memainkan pianonya tapi jari-jarinya gemeteran dan tidak mampu menghasilkan nada yang dia inginkan.

Air mata Harry mulai menggenang, dia merasa sangat bodoh dan tidak berguna. Setetes air mata hampir saja membasahi pipinya jika saja tidak ada seseorang yang tiba-tiba memanggilnya.

"Harry".

Dengan reflek Harry menoleh, "Theo?".

Theo langsung datang mendekati Harry, hatinya terasa perih mendapati bibir merah itu menjadi sangat pucat dan emeraldnya begitu sayu.

"Ap- apa yang kau lakukan disini?". Tanya Harry dengan nada kaget ketika Theo yang tiba-tiba menggendongnya keatas kasur.

"Harusnya aku yang bertanya, apa yang kau lakukan? Kau tidak boleh beranjak dari kasur". Theo segera menyelimuti Harry dengan selimut tebal.

The Night We MetWhere stories live. Discover now