1 | Menemui Fatamorgana

6.2K 431 33
                                    

"Hidup itu takdir. Jika kamu merasa sulit, maka akan sulit. Jika kamu merasa bahwa kamu bisa, maka kamu akan bangkit."

—Sa Gema Arkanza
____________________

       Ada harap yang tak dikabulkan oleh Tuhan. Ada keinginan yang tak lagi sesuai dengan pemikiran. Namun semua perlahan tergerus oleh kenyataan. Andai saja waktu berjalan memelan, mungkin tak lagi ada hari ini sebagai penyesalan.

Semua rencana dan wacana yang semula disiapkan dengan matang mulai dari awal hingga akhir, nyatanya terhenti. Ah, tepatnya bukan terhenti, tetapi harus merelakan wacana kokoh itu pergi seolah lenyap termakan oleh bumi.

Seperti halnya Gema. Pendidikan yang sudah ia rencanakan nampaknya akan sedikit berpindah haluan. Bukan tak apa jika Gema harus pindah jurusan. Namun ini berbeda, ia harus rela pindah kota dan menitih kehidupan baru bersama sang Bunda. Jika dipikir-pikir ia harus menyusun dari awal sebuah pemikiran, di mana ia juga harus membagi antara waktu menitih pendidikan dan waktu untuk mengais pundi-pundi uang. Keluarganya bukan dari kalangan bawah, tetapi tekad mandiri miliknya terlalu kuat untuk bersaing dengan keadaan yang ada.

Di sinilah Gema berada. Gedung megah yang sudah dihiasi oleh serba-serbi akad pernikahan. Ingar bingar manusia berlari ke sana ke mari, memilah antara berfoto ria atau sekedar memakan roti. Sejak dua jam lalu, bundanya sudah resmi menjadi istri seorang pengusaha sukses bernama Tirtayasa atau yang kerap dipanggil Pak Tirta.

Dari informasi yang diberikan oleh bundanya kemarin, Tirta memiliki satu orang anak yang bernama Fatamorgana.

Jemari lentik Gema mengetuk-ngetuk permukaan meja, membayangkan wajah seseorang yang kini sudah resmi menjadi kakak tirinya. Terlintas dalam pikirannya, bahwa Fata adalah sosok tegas seperti ayah, atau mungkin sosok ceria yang diperlihatkan ayah ketika bersama sang bunda?

Lingga yang sedari tadi menunggu agar Gema menghampiri dirinya ke depan, sudah sedikit geram. Kakinya perlahan melangkah meski sedikit kesusahan berjalan akibat jarik yang melilit setengah badannya. Suara lirih Lingga mulai memanggil Gema yang terlihat sedang duduk santai sambil mengetuk-ngetuk meja.

"Gema."

Seketika panggilan itu membuat lamunan Gema terhenti. Memilih untuk membuang jauh hal yang terlintas dalam benaknya. Hingga atensi matanya berpindah pada sumber suara yang ia yakini nyaring terdengar menusuk gendang telinga. Ternyata suara itu berasal dari Lingga--Ibunya.

Gema sedikit termenung melihat penampilan Lingga. Kebaya sederhana berwarna putih melekat sempurna, meski tidak begitu mewah dan hanya menampilkan kesan sederhana. Ia tak mampu menampik bahwa Lingga sangat cantik memakai kebaya tersebut.

"Ada yang bisa Gema bantu Bun?" ucap Gema memastikan. Bahkan, hingga saat ini pendengarannya masih menangkap bunyi lirih yang mungkin tidak begitu jelas menembus telinga.

"Kamu kenapa di sini? Ayo ke depan. Ayah sama Fata udah nunggu kamu di depan. Kamu malah enak-enak duduk di sini." Lingga berucap sambil menunjukkan ekspresi kesalnya. Namun diakhiri dengan lengkung bibir merah muda, tanda bahwa ia sedang bercanda.

"Iya Bun, ini Gema juga mau berdiri. Bunda duluan aja, nanti Gema nyusul," ucap Gema pada Lingga.

Lingga mendekat, tangan mulus itu perlahan menepuk bahu Gema. Mendekap bahunya sambil berkata, "Hari ini hari bahagia. Jangan buat raga kamu di sini tapi pikiran kamu berkelana, Gema." Wejang Lingga dengan rengkuhan hangat yang membuat detak jantung Gema berpacu tidak sesuai cara kerjanya.

Dalam Dekapmu [SELESAI]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant