Epilog

4.2K 328 48
                                    

"Untuk kamu yang sudah bahagia. Jangan lupa sedih dan bahagia itu perbandingannya sama. Setelah sedih ada bahagia, begitupun setelah bahagia juga ada sedih yang menjadi penguat jiwa raga."

Dermaga Kelabu
______________________

Satu minggu setelah kepergian Gema. Sisa-sisa memori yang ia ciptakan tidak hilang dimakan masa. Canda tawanya seolah tertoreh dalam dinding-dinding beku yang tak kasat mata. Karung-karung beras yang kini sudah kosong dari isinya menjadi bukti seberapa berat ia bertahan hidup banting tulang sendiri tanpa seorang keluarga.

Saat pemakaman Gema berlangsung, Lingga tidak menghadiri. Hanya sosok Tirta yang datang menabur bunga tanpa sang istri. Tirta tak menyangka, dengan cepat sosok Gema yang dulu pernah hadir membawa canda tawa di rumahnya kini sudah pergi. Tak lagi ada debat panjang miliknya dan Gema. Tuhan lebih sayang padanya. Ya, Tirta dengan cepat menghapus tetesan air mata yang sudah jatuh tanpa seizinnya.

Berbeda dengan Lingga yang kini masih menunggu perban mata Fata dilepas. Ia sudah tak peduli bagaimana kondisi Gema saat ini, baik atau buruk. Hidup atau mati.

"Bunda ...." panggil Fata melihat sosok sang bunda yang mengembangkan senyum miliknya. Sedikit buram, tapi Fata tau. Mungkin efek dari operasi mata yang ia jalani.

Lingga mendekat. "Iya, Bunda di sini. Mau minum?"

Dengan cepat Fata menggeleng. Pikirannya terisi penuh dengan sosok Gema. Buru-buru ia berusaha bangkit dari tidurnya. Bergegas menemui Gema yang mungkin dirawat di sini juga.

"Ayah, bisa anterin Fata ke kamar Gema? Fata pengen minta maaf sama Gema."

Tirta yang baru saja datang tak mampu berkata-kata. Hanya diam dan menuntun Fata ke tempat peristirahatan terakhir Gema.

Saat binar mata Fata bertemu dengan milik Lingga, ada getar aneh yang menelusup masuk dalam relung hatinya. Rasa sesak perlahan hinggap dalam batin Lingga.

Apa dirinya salah?

Meminta anaknya untuk segera mati?

Menjatuhkan mentalnya?

Dengan cepat ia mengikuti langkah-langkah Fata bersama Tirta. Untuk awal kesadaran yang baru datang ia akan meminta maaf pada Gema.

Sudah terlambat?

Di depan sana sosok Fata sudah meraung hebat mendekap nisan Gema. Tak percaya Gema yang baru kemarin beradu mulut dengannya sudah tak ada.

Perlahan tetapi pasti Lingga menghampiri. Menyesal saat melihat nisan Gema berdiri kokoh tertancap di atas tanah yang masih basah. Bunga-bunga yang bertaburan juga masih terlihat segar, pertanda kepergiannya masih belum lama.

"GEMA! MANA JANJI LO BUAT MERJUANGIN DEKAPAN GUE ... mana Gema ...." Fata duduk memeluk nisan Gema. Dirinya kecewa, tak mampu mengabulkan keinginan Gema untuk mendapatkan dekapan dari seorang kakak dan bunda.

"Bunda, boleh Fata minta satu hal?" Fata mendongak ke arah Lingga yang kini sudah terisak di samping Tirta.

Lingga mendekat, ia tau apa yang Fata minta. Mendekap nisan Gema. Mengabulkan permintaan bungsunya. Meski bukan tubuh ringkih yang ia dekap, hanya batu nisan sebagai bukti Gema sudah hirap.

"M-maafin Bunda, Gema ...."

"Dek ... ini Kakak, Kakak Fata yang sedari dulu kamu impi-impikan dekapannya. Yang sedari dulu kamu coba patahkah benteng pembatas kita, yang tenang ya di sana. Maafin Kakak, Dek ..."

Disaksikan rerumputan kecil di sekeliling pemakaian. Keduanya menyesal akibat kepergian Gema. Belum sempat Fata meraih tubuh ringkih sang adik, tatapi Allah lebih dulu memanggil dia.

Ilalang pembatas pemakaman bergerak seiring angin yang berhembus pelan. Menerpa surai hitam Lingga dan Fata. Saling hanyut dengan penyesalan masing-masing.

Semua usai, pada waktunya. Tanpa mampu mengelak, ajal akan datang sesuai garis takdir sang Maha Kuasa.

Untuk Fatamorgana.

Assalamu'alaikum Kakaknya Gema.
Hehehehe, sombong dulu boleh kali ya sebelum pergi selamanya.
Gimana? Udah bisa melihat hamparan bunga di dunia?
Udah dong pastinya.

Kak, jangan sedih kalau Gema pergi.
(Dih, Gema ngarep tinggi banget)
Sebenarnya saat Gema pergi, Gema akan selalu menjadi Gema dalam kemustahilan Fatamorgana.
Gema akan selalu menggema saat kakak berteriak lantang memanggil siapa saja.

Weh ....
Adek bagus ya bikin puisi?
Maafin yak! Akibat kebanyakan gaul sama Kang Boba nih.
Kakak Fata, tolong jaga mata yang Gema titipin ya ....
Jangan buat ngelihat makasiat, jangan buat lirik sana-sini yang bukan muhrimnya. Ingat?!

Udah, Gema udah capek nulis Kak.
Sampai bertemu Fatanya Gema.
Oh ya lupa!

Adek minta maaf karena udah sering banget mancing emosi kakak.
Bye ... Bye ....

Salam hangat.
Sa Gema Arkanza putra bungsunya Bunda Lingga, anak tirinya Ayah Tirta, Adek tersayangnya Fatamorgana.


Surat terakhir dari Gema, membuat Fata terisak pelan dalam kamarnya. Memandang bintang dan bulan yang saling berlomba-lomba memancarkan cahaya.

Fata mencoba ikhlas, meskipun mustahil bagi dirinya.

"Ternyata dekapan hangat yang selama ini kucari tak mampu terpenuhi dengan perantara tubuh yang sudah rapuh ini. Tak apa, setidaknya nisan yang terukir namaku sudah merasakan hangat dekapan Bunda dan Kak Fata."
-Dalam Dekapmu.

[ END ]

Dah, aku no komen

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dah, aku no komen.

Terima kasih untuk kalian yang senantiasa menemani saya. Semoga masih diberikan kesempatan lagi untuk bertemu di cerita selanjutnya.

Bye ....

Kota Tahu, 14 April 2021
Revisi : Kota Tahu, 30 Mei 2021

Dalam Dekapmu [SELESAI]Where stories live. Discover now