3 | Mulai Mencair

2.5K 329 19
                                    

"Bisa saja rengkuh hangatmu malam ini hanya ilusi. Namun semua nyata, meski sekejap mata."

Sa Gema Arkanza
________________________

       Jika diibaratkan Gema itu seperti hujan bagi Fata. Terkadang ia sangat dibutuhkan saat cuaca kemarau, tetapi juga meresahkan saat musim hujan tiba.

Hari ini, di mana tepat satu bulan mereka hidup di satu ikatan keluarga yang sama. Suasana yang mewarnai hari-hari mereka sama sekali tidak berbeda. Semakin hari, rasanya kehadiran Gema hanya sebagai udara kotor yang tak pernah dinanti ada di tengah-tengah mereka.

Hubungan Lingga dan Gema juga semakin jauh, bagai dua kutub yang sama jika dipersatukan maka akan berakhir dengan penolakan. Namun, Gema lebih memilih menepi. Sejenak rehat dari hirup pikuk dunia yang membuat ia lebih sering sakit hati.

Jangan bertanya bagaimana hubungan Gema dengan Tirta, jawabannya akan selalu sama.
"Malam lembur. Pagi-pagi udah berangkat kerja. Siang makan di kantor bareng Bunda. Kapan ketemunya?"

"Hari ini lo berangkat bareng gue!" Fata berucap disela-sela menalikan tali sepatunya.

Gema terpaku, tampak membeku tanpa pergerakan, semua seketika terasa kelu.
Apa-apaan ini?! Fata mengajak ia berangkat bersama? Naik motor kuda? Ah, tolong?! Gema butuh oksigen.

"Lima menit, gue tunggu di depan." Fata menyambar ransel hitam di kursi makan sampingnya. Lalu bahu itu perlahan tenggelam, menyisakan aroma mint yang menyeruak memasuki indra penciuman.

Gema bergegas menghabiskan roti dengan selai cokelat kesukaannya. Hingga detik berikutnya, bunyi keras alas kaki miliknya menggema, menggelitiki pendengaran memberi atensi bahwa larinya lebih cepat, tidak seperti sediakala.

"Kak, ini beneran?" Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan kepala. Menandakan bahwa Fata sedang tidak bercanda dengan tawarannya. Sebenarnya dalam benak Gema bersorak, terjungkal, tertawa ria. Namun seterusnya Gema hanya memastikan agar kali ini Fata tidak membodohi dirinya seperti dua hari yang lalu.

Flashback on

"Bun, sepeda Adek rusak. Hari adek boleh minta anter Bunda, bisa?" tanya Gema pada Lingga.

"Dek maaf. Bunda nggak bisa. Hari ini Bunda ada meeting sama klien di butik," jawab Lingga.

Kalau sudah begini, Gema hanya mampu termenung sambil berpikir sejenak. Mengajak otaknya untuk bekerja dengan jernih, menghilangkan semua prasangka buruk tentang sang bunda.

"Lo berangkat sama gue aja."

Jantungnya seolah berhenti berdetak. Mulutnya juga terasa kelu mengunyah makanan. Ah jadi ingin terbang. Kapan lagi coba bisa dibonceng sama Fata. Ingat Gema sekarang masih setia duduk di samping Lingga. Belum melayang dengan kupu-kupu yang menggelitiki perutnya.

"Nah Dek, sama Kakak aja. Bunda sekarang mau berangkat," putus Lingga sebagai penutup yang dibalas uluran tangan sebagai tanda salim dari kedua buah hatinya.

Langkah Lingga semakin menjauh termakan daun pintu di ujung ruang tamu.

Saat motor sport merah itu mulai melaju, Gema menahan mati-matian mulutnya agar tidak berteriak seru. Lalu sekian detik berlalu, motor merah itu berhenti di tengah jalan. Bukan tanda jika sudah sampai tujuan, tetapi sebuah ketidakpastian yang belum terpecahkan.

"Mogok, Kak?"

"Nggak. Lo turun di sini?! Jangan ngarep bareng sama gue. Tadi gue cuma takut Bunda kesiangan gara-gara nganterin lo ke sekolah. Lo bisa cari angkot atau bus di sini. Gue cabut dulu. Selamat menunggu."

Dalam Dekapmu [SELESAI]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon