7 | Gara-gara Gema

2.2K 294 43
                                    

"Tidak akan ada ujungnya jika kamu mencari yang luar biasa. Juga jangan berdiri tanpa usaha menanti bahagia. Terkadang bahagia butuh dicari bukan hanya dinanti."

—Sa Gema Arkanza

______________________

        Detik konstan jarum jam beradu dengan langkah gontai Gema. Hening terasa begitu pekat bercampur canggung karena ini pertama kalinya. 

Makan malam bersama. Yap, di sinilah mereka. Meja makan dengan jejeran kursi melingkar di sampingnya.

Saling mengisi lambung, mereka memilih mengunci pita suara. Sejenak, hanya sejenak lalu berganti bunyi yang keluar dari bibir ranum Fata.

"Bun, besok Bunda nggak lupa, 'kan?" tanya Fata mengingatkan Lingga apa yang sudah Lingga janjikan pada dirinya.

"Nggak dong, besok mau Bunda anter jam berapa?" Gurat bahagia tak lepas dari raut wajah Lingga. Jemari putih mulus miliknya bertaut dengan milik Fata. Mengelus pelan tanpa khawatir ada seseorang yang terluka akibat potret bahagia mereka.

Tirta turut andil dalam hal ini. Menatap Fata dalam, lalu membuka suara.

"Belajar yang bener. Malu sama diri sendiri kalau nggak sesuai ekspektasi." Tirta memainkan pita suara. Membelah ruang kecil yang hinggap dalam pembicaraan Lingga dan Fata.

"Udah. Ayah juga jangan lupa janjinya," ingat Fata pada Tirta. Sedangkan yang disodori perjanjian hanya membalas dengan suara air yang mulai masuk dalam rongga-rongga tenggorokan menuju lambung yang sudah menanti kehadirannya.

Satu gelas di depan mata Tirta tandas. Lalu suara  miliknya kembali mengisi hampa yang entah sudah sejak kapan bertapa.

"Iya, Ayah nggak lupa."

"Emang tempatnya di mana, Kak?" tanya dari Lingga kembali menyerbu Fata. Sambil menumpuk piring kotor, Lingga menatap sosok Fata. Gurat bahagia mengkode agar lebih memperdalam topik cerita. Sungguh, ini membuat denyut jantung seseorang berpacu dengan kecepatan luar biasa.

"SMA Pemuda-" Belum sempat kalimat itu lengkap  suara batuk akibat tersedak mengentikan Fata. Enggan menyodorkan minum, ia lebih memilih diam menangkap itu semua.

Tanpa mereka sadari, Gema yang sedang melancarkan aksi menegak air putih miliknya menegang. Akibat beberan yang dilayangkan Fata, air yang sudah berada antara sekat hidung dan lubang mulut terhenti lalu masuk rongga yang seharusnya tidak terhuni.

"Jangan buru-buru ... nggak ada yang akan minta air putih kamu," tutur Tirta sambil menatap Gema yang sudah menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak akibat aliran air yang tidak sempurna.

Gemuruh hati Gema terdengar oleh udara yang tak kasat mata. Apa kata Fata tadi? SMA Pemuda?

Jelas ia terlonjat, itu nama sekolahnya. Baik Lingga ataupun Tirta juga tidak ada yang tau menahu tentang di mana ia bersekolah. Yang jelas Lingga hanya akan membantu pembayaran, atau hanya memberi izin untuk ia bersekolah di mana saja, jika diibaratkan seperti kata-kata para remaja zaman sekarang. 'Asal kamu bahagia'.

Merasa bahwa nyeri pada hidung reda Gema menjawab tuturan dari Tirta.

"Nggak buru-buru, cuman si banyu salah jalan masuk." Gema berucap tanpa oktaf tinggi seperti biasanya. Lesung pipi miliknya terlihat begitu manis, tapi sayang tidak seperti hidupnya yang terlalu miris.

"Bukannya SMA tempat gue olimpiade besok itu sekolah lo?" tanya Fata sesantai mungkin.

"Bukan punya Gema. Tapi punya pemilik yayasan, hehehhehe." Gema sedikit bergurau, berharap jika mereka akan terbawa dengan suasana yang ia ciptakan.

Dalam Dekapmu [SELESAI]Where stories live. Discover now