5 | Titik Awal Nestapa

2K 307 26
                                    

"Seiring berjalannya waktu, semua semakin tabu. Rindu saja semakin terasa kelu. Apa peluk hangatmu juga seperti itu?"

—Sa Gema Arkanza

________________________

Langkah tergopoh-gopoh saling beradu. Saut alas kaki seolah menandakan bahwa mereka sedang terburu-buru. Bahu yang ikut maju, mendorong diri lebih cepat sampai pada titik temu yang perlahan tergerus oleh waktu.

"Gem, gimana keadaan Fata?" Napas tersengal-sengal milik Tirta berpadu dengan suara yang keluar dari pita suara.

Gema yang melihat ayah dan bundanya datang dengan rasa panik, perlahan mendekat. Walau peluh keringat dengan cepat melesat, getar mulutnya sebisa mungkin menjawab pertanyaan dari Tirta.

"Masih ditangani dokter, Yah." Gurat frustasi milik Gema mencuat ke permukaan. Tanda akan kali ini ia benar-benar panik tidak karuan.

Lingga melangkah maju, menggantikan posisi Tirta di depannya. Raut wajah tanpa warna itu tampak begitu mencekam. Benar kata pujangga, jika seseorang sedang tidak dalam lingkar ketenangan maka sosok keras yang selama ini bertapa akan muncul tanpa diduga.

Dengan cengkeraman kuat, ia menarik Gema pergi dari ruang tunggu di depan kamar Fata. Walau tidak menunjukkan ekspresi murka, Gema sudah tau bahwa bundanya pasti akan marah besar karena ulahnya. Memberontak pun tak bisa ia lakukan, hanya pasrah Lingga akan menyeret ia kemana.

"Jelasin?!" Lingga menyentak tubuh Gema ke dinding luar rumah sakit. Punggung tegar milik Gema seketika bergetar. Luruh di tempatnya, Gema terdiam tanpa suara. Bukan tidak mampu bicara, tetapi gemuruh hatinya sedang membentuk kata.

"B—bukan salah Gema," ucapnya menjawab pertanyaan Lingga.

"Kalau bukan salah kamu, salah siapa? Fata?" Lingga melotot tak percaya. Jelas-jelas hanya Gema yang tau kejadian sebelum Fata benar-benar hilang kesadaran.

"Demi Allah Bunda, Gema nggak ada maksud untuk mencelakai Kakak," ucap Gema lirih.

Lingga mengedar, menapakkan kaki dengan ringan satu langkah ke depan. Sikap abai miliknya muncul, lalu suara dingin yang jarang terdengar mulai hadir. Membelah dengan keras satu masalah yang muncul seketika bagai petir.

"Tinggal jujur aja susah? Bunda pernah ajarin kamu buat bohong hm? Pernah?!" Lingga berteriak keras tepat di depan wajah Gema.

Gema menunduk, mati-matian membuka suara yang kaku akibat terlalu lama diam dalam posisi gemetar. "T—tapi tadi Kakak sempet min-" jawab Gema, hingga belum sempat kata itu berakhir sempurna, Lingga sudah dengan cepat menyambar itu semua.

"Minum apa?!" Sekali lagi Gema enggan untuk menatap manik legam milik sang bunda. Semburat rindu yang seharusnya muncul tatkala dua mata dengan aliran darah yang sama bertemu, terpangkas habis berganti amarah yang kian membelenggu.

"Jus seledri." Perlahan tetapi pasti itulah kata yang terlontar dari mulut Gema. Memang sedikit tidak jelas, akibat cengkeraman Lingga. Namun, sang bunda tidak bodoh untuk menangkap mimik mulut buah hatinya.

Plak!

Plak!

Dua kali tamparan pengganti cengkeraman. Sakit itu pasti. Namun Gema berusaha meredam semua itu dengan memejam. Ia sadar, andai ia tidak ceroboh saat menyisihkan jus seledri pasti semua ini tidak dengan mudah terjadi.

"Bodoh?! Fata itu alergi seledri. Lagian kenapa sih kamu buat jus seledri? Mau bikin Fata cepet mati karena susah napas?" hardik Lingga padanya.

"Gema udah bilang, Gema nggak sengaja, Gema juga nggak tau kalau ternyata Kak Fata itu alergi seledri. Apa menurut Bunda semua itu nggak cukup buat penjelasan?" timpal Gema, memberanikan diri menatap sendu manik mata Lingga.

Dalam Dekapmu [SELESAI]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu