Bag.14

551 73 3
                                    

PAPA Suho bergegas pulang ke rumah karena merasakan cemas akibat ucapan putranya di telfon mengenai pembatalan atas tanah yang akan digunakannya sebagai klinik. Ketika sudah sampai rumah, didapatinya Suho sedang makan roti selai kacangnya dengan lamunan yang menyertai.

"Suho?", begitu namanya dipanggil, mata indah Pria tampan itu mengarah pada sang Papa.

"Ada apa, Pa?".

Pria paruh baya itu menghampiri anaknya, duduk di sampingnya seraya menyaksikan wajah Suho yang datar, berbeda seperti biasanya yang selalu ceria dan memamerkan senyumannya.

"Kamu pasti ada masalah kan?", tuding Papanya karena merasa demikian, ada sesuatu yang terjadi pada putranya. Tapi Suho selalu menyimpan sendiri semua hal yang dirasakannya.

Suho menggeleng, "Engga tuh, Pa. Gaada".

"Tapi kamu aneh, Suho. Kenapa bisa tiba-tiba berubah pikiran? Untung belom Papa dealkan itu tanah".

"Sebetulnya setelah aku berkata senang dengan tempat itu---aku memikirkannya ulang, Pa. Ternyata aku lebih tergerak untuk buka klinik disana sebagai awal untuk praktekku sebagai Dokter. Percayalah padaku, Pa. Aku bisa melakukannya", kata Suho berbohong disambinya mengunyah seraya meyakinkan sang Papa.

"Jadi---kamu akan tinggal di Melbourne?", Suho mengangguk tanpa beban.

"Ya kalau Papa dan Mama mau ikut juga tinggal di Melbourne, aku pasti juga sangat senang".

"Ini pilihan yang cukup berat, Suho. Apa kamu sudah yakin dan dengan mantap pindah disana?", ulang Papanya lagi bertanya hal yang sama.

"Suho sangat yakin, Pa. Dan ini juga sudah Suho pikirkan dengan matang".

"Lalu---apakah Irene sudah tau hal ini?", tatapan Suho yang tadinya datar berubah menjadi sendu. Nama itu masih belum bisa membuatnya biasa saja ketika mendengarnya. Suho memejamkan matanya sejenak bersamaan dengan membuang nafasnya.

"S-sudah. Dia sudah kuberitau dan dia mendukung apapun yang kulakukan", bohongnya lagi. Dalam dirinya meminta maaf sebanyak-banyaknya pada sang Papa karena telah membohonginya. Dia harus melakukan ini agar Irene tidak tau kepergiannya karena Suho sudah berniat tidak memberitahu Irene bahwa dirinya sudah tidak ada di Indonesia lagi.

"Yasudah, kalau ini memang keputusanmu, Papa dan Mama akan memikirkan bagaimana akhirnya nanti. Yang penting kamu duluan saja ke Melbourne untuk mengurus semuanya, dan kami pasti mengabarimu jika hendak pergi menyusul".

"Iya Pa, rencananya aku lusa besok berangkat".

"Kenapa begitu cepat, Suho? Kenapa tidak satu dua bulan lagi?".

"Aku rasa itu lebih baik, Pa. Aku harus segera cepat mengurusnya agar aku bisa cepat bekerja juga".

"Baiklah Nak, baiklah. Jangan lupa juga berbicara dengan Mamamu ya?".

Suho mengangguk, "Iya Pa".

"Yasudah, Papa ke kamar dulu", pamitnya lalu pergi. Suho merasa bersalah telah melakukan ini demi kebaikan semuanya. Lebih baik dirinya pergi daripada harus menjadi pengganggu dan tidak bisa berkembang menelan pahitnya kenyataan.

Suho berjalan ke kamarnya, mengunci pintu kamarnya lalu duduk di kursi meja belajarnya. Diantara buku-buku tebal, disana terselip sebuah buku yang menceritakan tentang siapa sosok Irene di matanya. Suho selalu meneteskan air mata jika melihat buku itu. Maka dirinya memutuskan untuk memberikannya pada Irene, tanpa harus bertemu wanita itu. Biarkanlah pelukan itu menjadi pelukan terakhir bagi dirinya untuk bisa merengkuh Irene. Hatinya sungguh berat melakukan ini. Tapi dia harus melakukannya.


Second Married | Bangtanvet (TAMAT)Where stories live. Discover now