Bab 2

79.6K 4.7K 41
                                    

Aku beritahu, mungkin kalian akan bosan baca Bab ini. Wkwkwk
Sabar ya, kan, baru permulaan.
Harus pelan-pelan.
Nanti ditengah baru gas-gasan.
Oke, silakan.

.
.
.

Masih dengan langkah santainya Darren menghampiri kakaknya, kemudian dia duduk tepat di samping Farren. Alangkah sialnya dia, baru saja bokongnya mendarat di sofa empuk, dengan penuh emosi Farren menendangnya hingga tersungkur ke lantai. Matanya sontak menyipit tajam dan tangannya mengelus-elus bokongnya.

"Kamu duduk di bawah!" titah Farren mutlak, masih dengan ekspresi menahan diri.

"Tap-"

"Di bawah," ulang Farren dengan setiap penekanan kata.

Merasa tak punya pilihan, Darren menoleh kepada mamanya yang berada di ujung sofa. "Ma, lantainya dingin."

Ekspresi tidak tega tiba-tiba saja muncul pada Juwita. Wanita paruh baya itu lantas menatap putra sulungnya. "Ren, lantainya dingin."

Farren mengangguk-angguk paham. "Tau kok, Ma."

"Ma, bilang sama Mas Farren, kalau mau ngobrol ijinkan aku duduk di sofa," ucap Darren lagi, "lantainya benar-benar dingin, Ma."

"Ma, bilang sama anak Mama itu. Kalau lantainya dingin dia boleh pake alas," sahut Farren langsung.

"Tuh, kamu boleh duduk pake alas," terang Juwita kepada Darren.

"Alas keset maksudnya atau alas kaki." Farren buru-buru menambahkan, "taukan? Kalau nggak paham Mas perjelas lagi."

Darren berdecak sebal. Pasalnya, apa yang diucapkan Farren hanyalah omong kosong. Untuk mempercepat proses penyiksaannya Darren langsung mengalah saja. Toh, Farren hanya akan memarahinya. Entah untuk apa. Yang jelas Darren terima saja, duduk anteng, dan dengarkan baik-baik. Masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri. He he he.

"Silakan, Mas. Proses eksekusinya sudah bisa dimulai."

"Sudah bosan hidup?" Farren tersenyum sinis, "pantas saja kerjaan kamu hanya membuat masalah."

"Mas, langsung bilang intinya bisa? Aku malas dengar sindiran Mas itu. Lebih baik Mas ceritakan duduk permasalahannya langsung."

"Bagus deh kalau kamu sangat peka. Mas juga malas lama-lama ngobrol sama kamu."

Darren memutar bola matanya dengan ekspresi malas yang dibuat-buat.

"Darren, sebenarnya Mas nggak peduli dengan aktivitas kamu, kebiasaan kamu, tingkah kamu, dan perilaku kamu selama kamu nggak merugikan orang lain, papa, mama, apalagi Mas. Tapi, urusannya sudah berbeda karena kamu merugikan orang lain. Lebih tepatnya merugikan Mas."

"Memangnya aku merugikan apa?"

"Apa yang kamu lakukan dua minggu kemarin?"

Darren mengernyit. "Hah?"

"Mas dapat laporan bahwa kamu pergi ke Raja Ampat untuk liburan. Benar itu?"

"Iya, aku ke sana. Tapi, aku sama sekali nggak pakai uang Mas, jadi merugikan Mas yang bagaimana maksudnya?"

Farren mendadak emosi. Dia menunjuk Darren dengan telunjuknya. "Itu, tuh! Kamu ke sana dengan anak rekan bisnis Mas. Kamu tau apa akibatnya?"

"Anak rekan bisnis? Aku ke sana bareng Fedrick, Mas. Ada Aden, dan Fikri. Apa salah satu dari mereka itu anak rekan bisnis Mas?"

"Bukan! Tapi perempuan yang bernama Frissa."

"Frissa? Oh, maksudnya Ica?"

"Frissa, Darren! Bukan Ica!"

Oh, My Ex! (END) Where stories live. Discover now