Prolog

58.3K 5.6K 201
                                    

Jurnal Mimpi Monik - New

Hello. It's me, tapi bukan lagu Adelle. It's just me again.

Ini buku baru, jadi, aku harus menuliskan sedikit prakata. Biar nanti kalau ada yang baca catatan ini, nggak bakal bingung, ini sebenarnya novel, kumcer, atau ... apa?

Nggak penting juga, sih. Siapa juga yang mau baca catatan tentang mimpiku?

Singkatnya, aku sering kesulitan melihat batas mimpi dan kenyataan. Apa yang terjadi di dunia nyata sejak Mama tiada terasa seperti mimpi. Sedang apa yang terjadi di mimpiku setelah itu, terasa begitu nyata.

Aku bertemu banyak orang dalam mimpi. Terkadang orang-orang yang kutemui sekilas di jalan atau di kampus, tetapi seringnya orang-orang yang kukenal. Orang-orang itu bercerita tentang apa yang terjadi pada mereka. Cerita itu mungkin nggak akan mereka katakan padaku secara langsung bahkan sampai negara api menyerang. Namun di mimpi, semuanya begitu gamblang. Nggak ada kebohongan yang bisa dirancang, karena aku bisa melihat hingga ke sudut paling terpencil hatinya. Ketakutannya. Kemarahannya. Kesedihannya. Keputusasaan ....

Rasa-rasa itu ternyata menular. Tangis mereka membuat mataku ikut berair mata. Ketakutan mereka terkadang membuatku ikut pipis di celana. Sungguh melelahkan bisa memahami emosi orang lain, bahkan saat aku nggak bisa memahami emosiku sendiri. Setiap bulir emosi orang lain yang menderaku, menghabiskan energiku. Membuatku melakukan sesuatu, meski sesederhana menyapa anak ansos di kampus yang pura-pura nyaman sendirian meski sebenarnya kesepian. Aku seperti dituntut untuk melakukan sesuatu yang nggak aku mau. Sulit dan melelahkan, karena yang menuntut itu adalah hatiku sendiri. Jujur saja, aku ingin nggak peduli. Untuk apa aku ikut-ikut memikirkan permasalahan orang lain saat aku bahkan nggak bisa menyelesaikan masalahku sendiri? Di sini, di kepalaku. Ada lubang dalam ingatan yang harus kucari agar utuh.

Sayangnya, aku nggak bisa. Entah kemampuan ini anugerah atau musibah, tetapi rasanya aku seperti mengkhianati Tuhan jika nggak melakukan sesuatu untuk membantu orang dalam mimpiku.

Jadi, yang ingin kutulis di halaman pertama ini adalah mimpi tentang orang yang sama, yang sudah beberapa kali menghampiriku.

Biasanya cerita dalam mimpiku berubah-ubah. Satu orang bisa menghampiriku beberapa kali dengan masalah yang berbeda. Namun, cerita yang satu ini sudah kulihat lusinan kali.

Laki-laki itu masih memakai kaos yang sama. Hitam. Namun, kali ini tulisannya berwarna putih terang, berbunyi "Gloomy Sunday". Ewh, sama seperti lagu kematian dari Hungaria. Se-gloomy suasana yang selalu terjadi ketika ia mampir ke mimpiku.

Ia melakukan hal yang sama. Duduk menenggelamkan wajahnya di sela lutut, di sudut jalan yang gelap dan kosong. Nggak ada apa-apa di sekitarnya, atau tepatnya, aku nggak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Namun, pria itu terlihat bersinar. Bukan sinar yang terang penuh harapan, melainkan sinar yang redup menyedihkan. Seperti lampu kamar mandi yang tinggal menunggu hari untuk diganti.

Dia masih sesedih sebelumnya. Aku juga masih di posisi sebelumnya, menunggunya bicara, atau menunjukkan sesuatu yang bisa kubantu. Ah, di mana posisiku sebenarnya? Mengingat aku bisa melihat dengan jelas punggung yang membungkuk itu, semestinya aku berada tidak jauh darinya. Tapi bahkan aku nggak bisa melihat kakiku!

Aku bertanya-tanya soal ini sejak kemarin. Apakah di cerita ini aku berperan sebagai pohon? Batu? Atau mungkin bangku taman? Tak ada satupun yang kusuka. Jangan-jangan itu yang membuat cerita ini begitu lama. Aku menunggunya bicara, tapi dia melihatku sebagai pepohonan kota yang sering jadi bahan perdebatan antara pemerintah dan aktivis lingkungan.

Tunggu. Pria itu bergerak!

Ia mendongakkan kepala, sesuatu yang belum pernah dilakukannya. Aku bisa melihat rambutnya lurus tertiup angin. Pria itu menatap ke depan, ke kejauhan, di mana hanya ada jalan gelap tanpa ujung. Lalu dengan gerakan yang lelah, pria itu berdiri dan mulai berjalan tersaruk-saruk.

Punggung itu menjauh. Aku mengikutinya di belakang dengan jarak yang aman. Oke, kurasa aku bukan pohon karena aku bisa berjalan. Tapi saat aku membuka mulut untuk memanggilnya, tenggorokanku tercekat. Seolah-olah sesuatu menyumbatnya. Aku menyerah. Kuputuskan untuk mengikutinya dalam diam saja.

Pria itu terus berjalan. Terus, dan terus, tanpa mengenal lelah. Aku mengikutinya tanpa tahu apa yang dia tuju. Hingga akhirnya, setelah puluhan kilo perjalanan, aku melihat secercah cahaya di depan. Tidak cukup terang, bahkan lebih redup daripada cahaya yang berasal dari pria itu. Cahaya itu seperti menjanjikan sebuah ruang di depan sana. Aku tidak tahu apa, tetapi kurasa itu bisa jadi pertanda bagus. Hatiku bungah, karena merasa perjalanan ini akhirnya menemui ujung.

Pria itu berjalan semakin cepat, nyaris berlari. Aku mengikutinya di belakang dengan penuh semangat. Setidaknya sampai aku menyadari apa yang ada di depan sana.

Tunggu! Tunggu! Itu bukan pintu! Itu bukan harapan!

Jalanan beraspal ini terputus menjadi dua. Di depan sana ada jurang yang lebar, curam, dan gelap, dengan kedalaman tak berujung. Aku tak tahu bagaimana, tapi aku tahu bahwa siapa pun yang terjatuh ke jurang tak akan pernah kembali ke dunia.

Tapi ... tapi pria ini terus berlari. Mustahil ia tak menyadari jurang itu! Mustahil ia tak melihat bahaya ... Mustahil dia ....

Hey! Itu jurang! Awas!

Aku berteriak sekuat tenaga.

Berhenti! Stop! Berhenti! Berhentiiiiii!

Namun, tak ada yang mendengarku. Tentu saja, karena aku hanya bisa berteriak di dalam kepalaku sendiri.

Rasa putus asa tiba-tiba menderaku. Begitu hebat hingga aku merasa tak berguna sama sekali. Air mata bercucuran di pipiku, dan hasrat ingin mati membuncah di hatiku. Mengapa dunia berputar seperti ini? Mengapa aku harus hidup seperti ini? Kenapa pria itu begitu putus asa, ingin mati, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa?

Saat air mataku benar-benar menggila, mendadak pria berhenti. Tenggorokanku tercekat. Isak tangisku tertahan begitu saja. Pria itu menoleh dengan gerakan yang sayu. Kini aku melihat wajahnya. Alisnya tebal membuat kulitnya terlihat sangat pucat. Rambutnya cukup panjang dan berkibar-kibar rapuh. Seluruh penampilannya terlihat rapuh dan ... mati.

"Tolong," gumamnya lirih.

Aku kebingungan. Apakah dia bicara padaku? Apa dia bisa melihat dan mendengarku?

"Tolong aku ...."

***

Holaaaaaa!

Di antara penatnya urusin revisi dan naskah-naskah mandeg, aku butuh hiburaaaan 🥵

Sembari nungguin Koko open PO, hayuuk dibaca dulu. Doakan ini nggak akan jadi naskah mandeg selanjutnya wkwk

DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kita BerjumpaWhere stories live. Discover now