XI

14.6K 3.8K 478
                                    

Aku nggak pernah berlama-lama di kampus. Ngapain? Tanpa kepentingan yang jelas, luntang-lantung di kampus adalah suatu kesia-siaan semata. Buang-buang umur.

Daripada di kampus, aku lebih suka menghabiskan waktu di Kedai Kita, kos-kosan, atau kadang jalan-jalan ke kebun raya Bogor untuk menjaga kesehatan mata. Kalau dipikir-pikir, paling sore aku berada di kampus adalah pukul 5. Itu juga karena kegiatan mahasiswa baru dan mabim yang kuikuti setengah hati. Hari ini ikut, besok bolos. Begitu seterusnya.

Makanya, ketika harus berada di kampus sampai malam, rasanya aku seperti mengalami culture shock. Kemarin, dua hari berturut-turut kami harus menjadi pelaksana seminar dan diskusi yang diadakan oleh Dekanat. Acaranya dilakukan setelah jam kuliah selesai dan berlangsung sampai malam. Setelah acara selesai, kami masih harus membereskan auditorium dan memastikan nggak ada yang bermasalah. Makanya, sudah dua hari ini aku masih berada di kampus sampai pukul 9 malam.

Bagaimana rasanya? Seram. Serius. Setiap kali aku sendirian dan memperhatikan sudut-sudut gelap kampus, aku membayangkan ada psikopat atau pembunuh berantai di sana. Ya memang sih, kampus nggak benar-benar sepi. Banyak mahasiswa yang beraktivitas sampai malam. Namun, dengan perbandingan yang ekstrem di siang dan malam, tetap saja menyeramkan. Untung saja, teman-teman panitia Dies Natalis ini hangat dan ramah. Ini sedikit aneh, tetapi aku nggak merasakan dorongan untuk menyepi atau menyingkir dari keramaian seperti yang sudah-sudah. Sedikit mencurigakan, tetapi berbincang ngalor-ngidul dengan Elsa atau mendengarkan humor Agung yang kadang cringe itu terasa menyenangkan.

Astaga, apa sekarang aku menjadi makhluk sosial yang sebenarnya?

"Lo nggak sependiam yang Ragil bilang deh, Mon," kata Wanda, saat kami tengah menempelkan huruf-huruf dari kotak styrofoam ke kain putih besar. Ini adalah spanduk selamat datang untuk pameran seni instalasi.

Besok adalah acara puncak Dies Natalis. Kami harus mendekorasi ruang pameran di lobi gedung S, dan juga mengatur panggung untuk teater di auditorium gedung S. Melelahkan sekali. Hingga menjelang pukul 9 malam, masih banyak hal yang harus dikerjakan. Padahal sejak tadi, selain kami berdelapan, ada 10 anak lainnya yang menjadi relawan dan turut membantu.

"Masa?" tanyaku sembari tertawa.

Wanda mengangguk. "Nggak ansos kayak kata lo juga. Lagian, mana ada anak ansos ngaku ansos? Kocak lo!" Wanda tergelak.

Aku ikut-ikutan nyengir. Aku nggak pernah benar-benar tahu apa yang orang pikirkan tentang aku. Hanya saja, dari bagaimana orang-orang melihatku di kelas, aku hanya berlapang dada jika mereka menganggapku freak dan ansos. Namun, aku pernah menguping obrolan Ragil dan Narita di salah satu sesi pedekate yang dilancarkan Ragil. Menurut mereka, Monik itu bukannya ansos. Dia juga bukannya pendiam seperti yang disangkakan orang-orang. Monik hanyalah orang yang terlalu canggung untuk membaur, terlalu bingung untuk memulai percakapan, dan terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Namun, bila sudah bertemu dengan orang yang tepat dan nyaman--dalam hal ini adalah mereka sendiri--Monik berubah jadi orang cerewet, blak-blakan, dan terlalu jujur.

Aku heran. Kenapa dalam sesi pedekate yang harusnya menjadi kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain, mereka malah membahas aku sih? Masa Ragil segitu nggak kreatifnya mencari topik pembicaraan yang menarik? Masa Narita yang biasanya suka membahas hal-hal receh sampai nggak penting denganku, nggak bisa memberikan umpan balik yang lebih memadai daripada topik soal Monik? Apa saking saltingnya mereka jadi kehabisan topik pembicaraan?

"Geblek juga mereka," gerutuku.

"Hah? Apa?" tanya Wanda bingung. "Siapa?"

"Hah?" Aku terkejut dengan pertanyaan Wanda. "Oh ... enggak. Tadi kepikiran sesuatu aja soal Ragil."

DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kita BerjumpaWhere stories live. Discover now