VI

15.2K 3.9K 737
                                    

Bertahun-tahun mengalaminya, aku mempelajari satu hal dari mimpi-mimpi absurd ini. Yaitu bahwa sifatnya yang menuntut. Rasanya seperti sebuah jobdesc. Jika sebuah mimpi muncul dalam tidurku, maka aku harus melakukan sesuatu. Harus di sini, aku sendiri yang memutuskannya. Sebab, berpangku tangan saat aku tahu seseorang sedang mengalami permasalahan berat, hukumnya seberat rasa bersalah yang nggak kunjung hilang. Itulah yang kurasakan setiap kali aku gagal berbuat sesuatu untuk membantu tamu dalam mimpiku.

Aku menyebutnya mimpi-yang-tidak-terselesaikan. Seperti namanya, aku nggak akan tahu bagaimana akhir dari mimpi itu, karena mimpiku selalu berupa awal. Setiap kali melihat tamu dalam mimpi-yang-tidak-terselesaikan, rasa bersalah mencengkeram jantungku. Aku mulai bertanya-tanya, bagaimana keadaannya, apakah persoalan itu sudah terselesaikan meski aku gagal membantu, apakah tekanannya semakin berat, dan tentunya, apakah dia akan tetap hidup dan baik-baik saja. Rasa ngeri membayangkan kejadian terburuk itu terlalu menyiksa.

Itulah yang kupikirkan ketika refleks keluar dari antrean loket peminjaman setelah melihat Agni masuk melalui pintu ruang buku di perpustakaan kampus. Aku nggak mau disiksa rasa bersalah dan penasaran. Karena itu, setidaknya aku harus mengusahakan sesuatu, terlepas pengetahuanku soal Agni dan mimpi-mimpi kali ini lebih kecil dari biji sawi.

Obrolanku dengan Ragil kemarin nggak menghasilkan banyak pengetahuan, jadi aku ingin mencari tahu sendiri. Karena itulah, kuangkat tanganku dan kulakukan hal terbodoh di dunia

"Kak Agni," sapaku.

Satu detik setelah menyapanya, aku langsung menyesal. Maksudku, siapa aku dan siapa dia? Seakrab apa kami sampai aku bisa menyapanya sekasual ini? Aku nggak kenal dia, dan jelas, Agni nggak kenal padaku! Meski kami satu jurusan, aku bahkan nggak tahu hal itu sampai dua minggu yang lalu. Mana predikatku di kampus adalah sosok yang antisosial dan freak lagi. Agni pasti akan merasa aneh karena aku sok akrab dengannya hanya karena pernah ngobrol singkat soal Paduka. Salah-salah dia menganggapku sebagai stalker.

"Lo gila, ya, Mon," gumamku lirih.

Untung saja Tuhan masih sayang padaku. Yaa ... mungkin ini karena aku sering menanggapi mimpi absurd dan melakukan sesuatu untuk membantu orang-orang. Agni nggak mendengar sapaan sok akrabku. Karena di saat yang sama, seorang cowok dan cewek juga menyapa dan menghampirinya. Sapaanku tadi hilang terbawa angin, menjadi rahasia antara aku dan buku-buku ini. Kini, mereka ngobrol dengan suara rendah di dekat rak psikologi.

Setelah beberapa saat, mereka berpisah. Cowok-cewek itu menuju loket peminjaman buku, sedangkan Agni menuju rak bagian kriminologi. Aku sendiri menuju mengikuti Agni dan berbelok ke kiri, memasuki lorong berisi buku-buku biologi, yang letaknya tepat di seberang rak lorong kriminologi. Dari sini, aku bisa mengamati Agni dengan cukup jelas dan risiko ketahuan kecil.

Cowok itu menyurusi buku-buku di rak kriminologi. Entah buku apa yang ia cari. Agni memakai celana jeans hitam, kaos putih dengan tulisan "anak baik" dan kemeja lengan panjang berbahan blue jeans. Rambut gondrongnya diikat secara serampangan. Sesekali ia membenahi posisi kacamatanya. Aku jadi penasaran, itu kacamata minus atau kacamata gaya, ya? Nggak penting juga, sih. Ha-ha.

Agni tampak senang saat menemukan buku yang ia cari. Setelah memeriksanya beberapa saat, ia membawanya ke tukang fotokopi yang ada di dalam perpustakaan. Lagi-lagi, aku mengikutinya dengan jarak aman. Kupilih satu meja belajar yang jaraknya kurang lebih tiga meter dari tempat fotokopi. Kutaruh tasku, dan kubuka buku yang tadinya hendak kupinjam. Aku pura-pura membaca, tetapi mataku awas menatap Agni yang kini tengah ngobrol akrab dengan tukang fotokopi. Keren juga dia. Akrabnya dengan siapa saja, mulai dari Pak Dekan (karena dulu pernah pacaran dengan anaknya, ingat?) sampai tukang fotokopi.

DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kita Berjumpaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن