II

20.2K 4.3K 198
                                    

Paduka nggak menggerung-nggerung murka lagi setelah divaksin. Mungkin efek dari vaksin itu sudah bekerja. Sekarang Paduka jadi lebih tenang dan mengantuk.

"Syukurlah Paduka nggak membuat kehebohan di kampus ...." kataku pada Paduka yang berbaring di pet cargo sambil terkantuk-kantuk. "Bisa-bisa kamu nyasar di pos satpam. Nggak boleh masuk."

Kutatap penunjuk waktu di layar ponselku. Kurang lima belas menit lagi aku harus mengikuti kelas Penologi Dasar. Padahal ada satu tempat yang harus kutuju lagi sebelum masuk kelas. Namun, teman Ragil yang tadi belum muncul juga. Aku sudah memberitahukan posisiku lewat chat--di taman dekat musala--jadi, seharusnya dia bisa menemukanku dengan mudah.

"Kalau dalam lima belas menit dia nggak nongol, mau nggak mau kamu ikut masuk kelas Penologi Dasar. Nggak apa-apa, biar Paduka pintar. Tapi janji nggak boleh ribut, ya?"

Seperti yang sudah-sudah, Paduka nggak menjawabku. Dia malah sudah tidur! Percakapan ini selalu satu arah, seperti cintaku padanya yang sepertinya juga bertepuk sebelah tangan. Dasar kucing! Dia menyebalkan, tetapi kenapa aku tetap sayang?

"Enak ya jadi kucing, kalau masuk kelas nggak harus bayar uang semesteran."

Aku menoleh dengan cepat. Yang kutunggu-tunggu akhirnya datang. Cowok gondrong dengan kacamata berbingkai hitam tadi pagi muncul dengan senyum di wajahnya. Satu tangannya memegang ransel yang tersampir di pundak kirinya.

"Yaaa ... percuma juga sih." Aku mengedikkan bahu. "Meski rajin kuliah, nggak bakalan ada yang manggil dia buat job interview."

Cowok itu tertawa. Beberapa cewek yang melintas sempat menyapanya, dan Agni balas menyapa atau sekadar menganggukkan kepala. Sayangnya, aku sedang buru-buru dan nggak bisa melakukan pengamatan lebih lanjut. Jadi, dengan segera kuangkat pet cargo Paduka, dan kuserahkan kepada cowok itu.

"Kak ... Agni?" sebutku ragu-ragu. "Minta tolong, ya?"

"Sip." Agni menerima pet cargo Paduka sembari mengangguk.

"Maaf, lho, jadi ngerepotin gini."

"Santai. Kan gue juga mau ke kosan Ragil. Ini perlu diapain sampai kosan?"

"Cukup ditaruh di kandang, dan dibiarkan. Paduka itu bisa swa-bahagia."

"Paduka?" Kekehan di bibir Agni keluar lagi. "Baiklah."

"Makasih banyak, Kak."

Setelah Agni menjawab, aku meraih tas selempangku dan bergegas menuju toilet yang berada di gedung pasca sarjana yang letaknya di area belakang kampus. Dibandingkan gedung-gedung depan, gedung ini lebih sepi karena tidak banyak mahasiswanya. Sebagian pun mengambil kelas malam atau kelas karyawan.

Aku ke sini tentu bukan untuk diam-diam ikut kelas di mata kuliah pasca sarjana. Aku hanya perlu ke toilet yang berada di sudut koridor. Toilet itu cukup lawas yang sepertinya tidak banyak digunakan orang. Mungkin karena toilet itu berada di sudut dan langsung mengarah ke hutan kampus. Padahal toilet ini dirawat dengan baik oleh petugas kebersihan, dan senantiasa bersih karena memang jarang digunakan. Karena itulah, toilet ini menjadi favoritku.

Lagipula, aku ke sini bukan hanya untuk membuang hajat. Setelah mengosongkan kandung kemih dan bebersih diri, aku menghampiri dinding luar toilet yang dekat dengan hutan. Ada sebuah cerukan di sana yang berasal dari dinding tua yang sudah gompal. Cerukan itu tidak cukup besar untuk mengundang perhatian, tetapi cukup aman untuk menyembunyikan surat dari sahabat penaku selama enam bulan terakhir.

Surat itu sudah ada di sana saat aku datang. Digulung memanjang sampai seukuran sedotan boba dan diselipkan ke dalam cerukan. Biasanya aku langsung membacanya di sana, tetapi sekarang alu harus segera ke kelas Penologi Dasar yang letaknya di lantai 3 gedung Y.

DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kita BerjumpaWhere stories live. Discover now