XIV

14.4K 4K 413
                                    

"Cariin anak krim yang terkenal buat Narita, dong?"

Ragil yang tengah sibuk dengan ponselnya sontak mengangkat wajah dan mengerutkan dahi. Sebagai respons, aku menatapnya dengan ekspresi datar.

"Santai bangat berasa lagi nyuruh gue ngambilin kerupuk," gerutu Ragil. "Lo mahasiswa jurusan kriminologi, ngapa nyuruh gue nyariin temen-temen lo sih, Mon?"

Kuambil bungkus kerupuk di atas meja. Lumayan untuk ganjal perut, sambil menunggu pesanan nasi gorengku selesai dibuatkan.

"Pertama, gue nggak punya teman apalagi yang terkenal di kriminologi," kataku lalu menggigit kerupuk dengan suara keras. "Kedua, kan itu bisa jadi sarana modus lo ke Narita."

"Lha, si Agni? Itu kan bisa sekalian buat sarana modus lo?"

Aku menggeleng. "Nggak mau dia. Sibuk."

"Udah ditanya? Apa cuma asumsi lo aja?"

Aku berdecak sebal. "Udah ditanya dengan sangat-sangat jelas dan to the point, Pak. Dia bilang lagi ribet."

"Dih, mana gue tahu anak krim yang terkenal selain Agni?" Lagi-lagi Ragil menggerutu dan kembali sibuk dengan ponselnya.

Aku mendesah lelah. Cowok ini memang selalu sibuk dengan ponsel kapan pun dan di mana pun. Ya apa sih yang bisa diharapkan dari selebgram amatir seperti Ragil? Sepertinya dunia Ragil bakal runtuh suatu saat internet lenyap dan dia nggak bisa membalas DM-DM yang masuk ke akunnya. Mungkin Ragil juga bakal merasa hidupnya nggak berarti kalau suatu hari, Instagram dimusnahkan dari dunia ini.

Malam ini, setelah jam kerjaku di Kedai Kita selesai, aku mampir ke kos-kosan untuk mengantarkan jatah makanan Paduka minggu ini. Lalu Ragil, yang tumbenan ada di kosan, mengajakku makan nasi goreng di warung tenda yang ada di dekat kos-kosannya. Tahu cuma dikacangan begini, mendingan aku makan sendiri di kos-kosan sembari nonton video-video kucing.

"Mon, lo tahu Arbani Yasiz?"

Aku menoleh, mengalihkan pandangan dari abang nasi goreng yang tengah memasak kepada Ragil.

"Hm? Siapa, tuh? Anak krim juga?"

"Bukan, goblog!" decak Ragil. "Artis, Mon! Artis!"

Aku ber-oh pendek. Salah sendiri, nama teman sekelas saja aku nggak tahu. Ngapain juga aku tahu nama artis?

"Masa katanya gue mirip Arbani Yasiz," kata Ragil, lalu cekikikan seperti remaja baru puber.

Aku mengerutkan dahi.

"Emang iya, Mon? Gue mirip Arbani Yasiz?"

Aku geleng-geleng kepala. "Pertama, gue nggak tahu Arbani-Arbani apalah itu. Gue tahunya Rabbani dan itu merek hijab. Kedua, nggak usah percaya kalau ada yang bilang lo mirip artis. Biasanya cuma spik doang itu mah."

"Kok gitu sih, Mon? Eh, nggak boleh lho berprasangka buruk sama orang lain. Siapa tahu gue emang beneran mirip Arbani Yasiz."

Aku mencibir. "Kan gue juga kemarin bilang Agni kayak Omar Daniel. Nyepik doang itu, cuy. Nggak benar-benar kayak gitu."

Ragil tergelak. "Geblek! Kalau lo mah niatnya emang mempermalukan diri sendiri."

Obrolan kami terhenti saat abang nasi goreng datang dengan dua piring di tangan.

"Ini yang nggak pedas, buat Neng," katanya sembari menaruh piring di hadapanku. "Ini yang superpedas buat Abang," tambahnya sembari menaruh piring di hadapan Ragil. "Minumnya apa, nih?"

Aku memesan teh tawar hangat dan Ragil memilih es teh manis.

"Weekend ini balik, yuk, Mon?" tanya Ragil sambil makan.

DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kita BerjumpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang