XII

13.6K 3.8K 310
                                    

Tanganku gemetaran. Ini sudah berjam-jam sejak kejadian aneh di lobi auditorium pagi tadi, tetapi tanganku masih terasa lemas dan kebas. Berinteraksi dengan banyak orang dalam intensitas tinggi beberapa hari belakangan memang membuatku kelelahan, tetapi lelah kali ini berbeda. Emosiku terkuras, fisikku terkuras, rasanya aku hanya ingin pergi ke atas gunung dan berteriak sekuat tenaga.

Perasaan ini benar-benar seperti mencekik leherku dan menyumbat saluran pernapasanku. Setiap kali mengingat kejadian tadi, aku seperti orang panik yang refleks mencari-cari keberadaan Agni. Aku baru akan tenang setelah melihat cowok berambut gondrong itu, dan memastikan dia masih bernapas.

Dampaknya? Tentu saja banyak. Aku nyaris mengacaukan segalanya. Semua yang kukerjakan nggak beres. Aku bahkan sempat bengong saat seminar dari Pak Dekan, padahal aku bertugas menyiapkan microphone bagi peserta audiens yang hendak bertanya. Elsa menyikutku dan memberiku pandangan penuh tanya. Sayangnya, aku nggak bisa menjelaskan apa-apa. Aku kan nggak bisa diam-diam membisiki Elsa bilang bahwa Agni mencoba bunuh diri tadi pagi. Selain nggak mau mengumbar permasalahan orang lain, aku juga nggak yakin Elsa bakal percaya.

"Gila ... dunia emang udah gila," gumamku lirih.

Untung saja tak ada seorang pun yang mendengarku.

Saat ini, acara puncak Dies Natalis sedang berlangsung. Anak-anak teater tengah mementaskan sebuah drama tentang penyair Chairil Anwar. Drama itu dibumbui oleh adegan-adegan komedi yang mengundang tawa. Aku? Boro-boro tertawa. Aku bahkan nggak mampu menyimak jalan cerita drama itu. Pikiranku terpusat pada Agni yang berdiri bersamaku, tengah tertawa menonton adegan teater di depan sana. Aku tak tahu bagaimana ceritanya, tetapi aku dan Agni berakhir nonton teater bersama di balkon belakang, dekat dengan ruang kendali lampu, tempat tim lighting mengatur pencahayaan selama pementasan.

Agni berdiri di balik teralis besi yang menjadi dinding balkon, sementara aku berdiri di belakangnya, bersedekap, menyandar di dinding balkon. Tanpa sadar, mataku menatap tangan kiri Agni yang dibebat perban. Warna cokelat Betadine merembes keluar. Itu hasil karyaku. Perban yang sedikit acak-acakan karena aku terlalu panik takut Agni mati.

Apa tadi kata Agni? Nggak sengaja. Ck. Apa-apaan.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana kejadian tadi pagi. Bagaimana tatapan Agni begitu kosong, dan saat aku menjeritkan namanya, ia seolah terkejut dengan darah di tangannya sendiri. Seolah-olah ia baru tahu tangannya terluka dan ia diharuskan untuk mengaduh, serta melepaskan cutter dari tangannya. Padahal sebelumnya, aku yakin melihat Agni dengan santainya menggoreskan pisau tajam itu ke telapak tangannya. Seolah-olah hal itu nggak menimbulkan rasa sakit padanya.

Aku marah, tetapi tak sempat melakukannya. Sarapan yang kubeli kugeletakkan begitu saja ke lantai, dan aku berlari ke koperasi mahasiswa untuk mencari Revanol, Betadine, dan perban. Lalu si cowok gondrong ini dengan mudahnya bilang dia nggak sengaja.

"Gue lagi motongin aluminium foil. Ngantuk kali, ya, gue? Nggak sadar, ternyata yang gue potong malah tangan gue sendiri," katanya tadi sembari tertawa saat aku mengobati tangannya.

Nggak lucu. Benar-benar nggak lucu, Agni.

Apalagi setelah kejadian itu, Agni bersikap seolah nggak terjadi apa-apa. Dia tersenyum dan tertawa, bekerja dan berbaur seolah segalanya baik-baik saja. Saat orang bertanya kenapa tangannya diperban, ia hanya menjawab, "Nggak sengaja kena cutter tadi". Bahkan sekarang, dia menonton teater dengan santai, tertawa lepas, tanpa beban.

Luka itu memang nggak dalam. Hanya berupa goresan-goresan di sekeliling telapak dan pergelangan tangan. Nggak sampai mengancam nyawanya. Namun, tetap saja rasanya mengerikan mengingat bagaimana cowok itu menggoreskan cutter ke tangan dengan begitu mudah. Aku ngeri membayangkan bahwa Agni bisa saja melakukan yang lebih parah dari itu. Bisa saja, cutter itu nggak menggores telapak tangannya, melainkan memotong pembuluh nadinya.

DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kita BerjumpaWhere stories live. Discover now