Salah mulu

5.3K 349 4
                                    

Gue nggak mau berbagi apalagi terbagi

Deon Addison.

-_-_-_-

Terlepas dari kesan menakutkan aura Deon, mungkin semobil berdua dengan nya ialah salah satu keinginan para ciwi ciwi pada umumnya ditambah dengan mobil yang selalu Deon tumpangi ialah mobil mewah yang hanya diproduksi sebanyak dua unit di dunia.

Namun hal itu tidak berlaku bagiku yang sudah merasakan aura terseram Deon, bagiku semobil dengan Deon ialah apes, bagaimana tidak, jika nafas aja rasanya susah susah gampang apalagi duduk tenang nikmatin perjalanan, jangan harap.

Setelah drama di rumah sakit beberapa menit yang lalu baik aku dan Deon sama sekali belum membuka suara sepatah katapun. Entahlah aku merasa nyaliku menciut ditambah dengan hanya ada aku dan Deon di mobil ini. Aku hanya takut jika ada kata kataku yang membuat Deon murka lalu tanpa berpikir panjang dia melakukan tindak kekerasan atau bahkan menghilangkan nyawaku.

Mataku melotot tak percaya pada pemikiran ku yang semakin membuatku panas dingin. Kugelengkan kepala guna mengusir pikiran ngawur yang memenuhi otakku saat ini. Namun apalah daya semakin aku berusaha mengusir pikiran ngawur itu malah semakin menjadi jadi.

Lamunanku terhenti saat kurasakan mobil yang kami tumpangi mengehentikan laju nya, Ternyata lampu merah.

"Bukan gue pelakunya"

Spontan aku menoleh pada sosok di sampingku.

"Yang tadi di rawat itu temen gue. singkatnya, dia di tuduh udah ngilangin nyawa orang"

"Terus??" Tanyaku menuntut.

"Lo nggak perlu tau semuanya"

Sialan. Dia gatau susahnya kalo udah kepo.

"Kok bisa gitu ya? Bentar-bentar Jadi yang diberita itu sebenernya siapa? Musuh Lo? Jadi Ojo diamuk masa? Apa musuh Lo ngaku-ngaku jadi masa? " Aku terus terusan melayangkan pertanyaan yang sudah sejak beberapa hari ini bersarang di otak cantik ku.

"Tau dari mana"

Aku terdiam lalu menoleh memandang ke samping tempat Deon berada. Dia memandangku datar. Melihat Deon membuat nyaliku kembali menciut. Aku menyesal karena melupakan bahwa orang disebelah ku ini sangat mudah terbawa emosi. Tapi sungguh itu tadi diluar kemauanku. Aku hanya mengutarakan apa yang beberapa hari ini memang ingin ku tanyakan, dan jika Deon merasa keberatan untuk menjawab rasanya tidak ada juga yang akan berani menentang dirinya.

"Hah?"

Aku mengernyit tanda tak mengerti dan menuntut penjelasan pada sosok makhluk di sebelahku ini. Deon membuang pandangannya lalu kembali melajukan mobil saat lampu berubah menjadi hijau.

Aku mengalihkan pandanganku menghadap depan dengan hati hati berusaha untuk tidak membuat amarah seorang Deon tersulut lagi.

Seperti yang kumau. Deon menghentikan mobilnya saat sudah sampai di gerbang kompleks. Selanjutnya aku akan berjalan sedikit jauh menuju ke rumah atau menghubungi orang rumah. Ini perjanjian yang sudah tidak bisa diganggu gugat. Deon hanya bisa mengantarku sampai depan rumah hanya jika mobil yang dia tumpangi tanpa ada satupun identitas yang menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan dengan Lesneiro.

Aku menoleh ragu pada Deon, aku hanya memastikan bahwa tidak ada yang ingin Deon ucapkan lagi. Dahiku mengernyit saat pintu mobil terkunci oleh Deon.

"Lo masih belum jawab pertanyaan gue"

Dahiku semakin mengernyit. Aku memutar memori beberapa saat yang lalu dan hasilnya nihil, aku tidak mengingat bahwa Deon sempat melontarkan pertanyaan padaku. Aku merasa tidak ada pertanyaan satupun yang keluar dari bibirnya.

"Yang mana?" Tanyaku tidak mengerti. Aku bertanya dengan sangat hati hati pada Deon. Karena menjawab pertanyaan nya dengan sebuah pertanyaan juga ialah salah satu pemicu tersulutnya amarah seorang Deon.

Kulihat dia membuang nafas dan membuang pandangan ke arah samping. Harusnya jika sudah begini aku bersikap waspada, tapi apa ini? Aku malah memandang bingung meratapi kepikunanku.

"Nama. Kenapa Lo bisa tau nama temen gue Ojo?" Cecar Deon.

Astaga.

"Oh itu..tadi gue denger Lo ngomong sama temen temen Lo" jawabku dengan nada hati hati.

Aku merasa bahwa aura sekitar telah berubah, aku bersikap waspada dengan apa yang akan kuterima setelah ini. Aku tidak tau apa kesalahanku sebenarnya. Tapi jika Deon telah menyebutku bersalah seperti biasa aku tidak ada keberanian untuk menyangkal. Tidak ada orang yang bisa menyangkal seorang Deon selama ini, kalaupun ada maka sangat beruntung saat itu kau bisa terlepas namun jangan harap keluargamu tidak ikut masuk ke dalam lubang yang kau buat.

Deon menatapku nyalang. Dia terlihat sedang menahan amarah Terlihat dari cengkraman tangannya di kemudi mobil.  Aku menelan ludah dengan susah.

Lihatlah ini. Bahkan tanpa seorang Deon berucap satupun mampu membuatku bergidik.

"Vani. Gue nggak tau pastinya udah sampai mana Lo nguping pembicaraan gue sama temen temen gue tadi.." tangan kirinya beralih membenarkan tata letak rambutku "tapi setidaknya kalo sampai orang lain tau. Maka gue bakal langsung tertuju ke elo"

Mulutku terbuka tak percaya, pernyataan macam apa ini.

"Gue aja nggak denger yang Lo sama temen Lo omongin"

"Penjara bakalan penuh kalo maling ngaku"

Aku menghela nafas pelan berusaha mengusir emosi yang semakin mendominasi. Oh ayolah. Lo harus tau Vani kalo orang yang disebelah Lo itu bahaya sekali.

"Bunda pasti nyariin kenapa gue belum juga pulang. Ya Deon ya.. gue mau keluar sekarang, bukain kuncinya" pintaku sekelas mungkin.

Klik
suara kunci pintu mobil terbuka. Aku tidak menyangka bahwa Deon akan semudah itu mengabulkan permohonanku tidak seperti yang lalu lalu harus dengan memberikan ciuman misalnya.

"Satu lagi. Gue harap Lo nggak caper lagi kalo suatu saat Lo ketemu anggota gue yang lain"

Bremmm

Mobil Deon berlalu. Aku melangkah kan kakiku menuju ke tempat teduh dibawah pohon mangga. Kuraih ponsel ku yang semenjak tadi berada di saku jaket dan menekan beberapa nomor yang langsung tertuju pada telepon rumah.

"Mana sempet caper keburu ngeri" Gumamku sembari menunggu telepon tersambung.

Aku mengernyit saat mataku menangkap sebuah mobil yang mirip sekali dengan mobil milik Deon. Mobil itu berjalan kearahku. Ralat. Itu memang mobil Deon.

Aku panik begitu mobil Deon berhenti tepat didepanku. Barusaja ingin mengeluarkan kalimat kalimat mutiara tiba tiba sebuah paper bag berjumlah tiga itu di lempar didepanku.

"Parfumku?!" Ucapku histeris.

Setelah melempar belanjaanku seperti kantong sampah tak berguna, mobil dia berlalu dengan kecepatan sedang membelah jalanan.

"Heh!!" Ucapku keras sambil memandang mobil Deon yang telah jauh keberadaan nya.

Aku tertunduk memunguti paperbag ku yang tergeletak di jalanan. Pecah. Parfum baruku pecah setelah dilempar dengan sangat tidak manusiawi oleh orang itu.
Mataku berkaca kaca. Bisa bisanya disiang bolong seperti ini aku diuji oleh kelakuan setan.

"....."

Fokusku teralihkan oleh suara telepon yang tersambung. Aku mentralkan nafasku yang sempat memburu.

"Halo pak yan? Bisa jemput saya nggak dipintu gerbang kompleks"

"....."

"Makasi pak yan"

_-_-_-_

Selamat berpuasa bagi yang puasa (◠‿◕)

Vote+komen+follow

Terimakasih.

Love The CriminalWo Geschichten leben. Entdecke jetzt