Chapter 37

3.2K 232 33
                                    

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

.
.
.

Kupikir semesta sedang berbaik hati. Tapi ternyata, dia tengah mengambil ancang-ancang untuk menghancurkan lebih parah lagi.

🌹🌹🌹

"Itu satu alasan lagi kenapa aku selalu bawel sama kesehatan orang-orang yang aku sayang, termasuk kamu."

"Aku gak mau menyesal untuk yang kedua kalinya dan berakhir kehilangan lagi."

Laura semakin terisak dalam dekapan Aris. "Keluarga yang dari awal sudah hancur, lebih hancur lagi setelah papa gak ada. Apalagi tentang kemarahan Tante Ranti yang murka saat tahu perusahaan Papa dan semua aset lainnya di sita sama bank."

"Kenapa Tante kamu marah sama harta papa kamu, bukannya dia juga sudah pasti dapet warisan dari kakek kamu?"

"Dulu aku juga sempet bingung, kenapa Tante seperti itu. Sampai Akhirnya kak Restu kasih tahu aku kalau ternyata mereka bukan saudara kandung. Papa anak angkat dan Tante anak kandung. Tapi kakek malah kasih hampir seluruh hartanya sama papa. Itu yang bikin Tante Ranti marah berkelanjutan." Laura menjeda sebentar, "dan hal yang paling mengejutkan bagi aku adalah saat kak Restu bilang kalau orang tuaku adalah korban perjodohan yang tidak diinginkan."

"Pantes saat kecil sampai remaja aku gak pernah ngelihat mereka kayak orang tua temen-temen aku. Mereka terlihat tidak pernah mengobrol sama sekali kecuali hanya untuk bertengkar dan aku nggak pernah ngerasain kasih sayang sebagai orang tua dari mereka," lanjutnya.

Aris mendengarkan sembari terus mengusap punggung Laura. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi, hatinya dirundung rasa bersalah. Aris telah menoreh luka pada hati yang sebenarnya sudah banyak terluka.

"Dari kecil aku gak pernah ngerasain yang namanya makan di meja makan sama keluarga, aku selalu aja sendiri. Ini yang jadi alasan kenapa aku sering nolak kalau Tante Marisa ngajak aku sarapan bareng sama keluarga kamu. Aku selalu pengen nangis saat liat gimana kebersamaan keluarga kalian." Laura tersenyum ditengah tangisnya, "aku selalu iri saat liat Om Hasan dengan sayangnya ngusap rambut Raisya, karena dari kecil sampai papa gak ada, aku gak pernah ngerasain itu. Maupun sama Mama."

Sudah cukup, Laura tidak bisa melanjutkan lagi. Ia membenamkan wajahnya pada bahu lebar sang kekasih untuk meredam tangisnya yang semakin keras. Kenyataan itu masih saja terasa menyakitkan baginya. Meskipun sekarang ia bisa makan bersama sang mama tapi tetap saja ada yang kurang tanpa papanya. Laura selalu menyayangi mereka walaupun mereka, sepertinya tidak.

Laura tidak pernah tahu karena mereka tidak pernah mengungkapkan.

Aris mengurai pelukannya. Air mata Laura ia usap, lalu tersenyum pada gadis itu. "Kamu bisa anggap keluarga aku seperti keluarga kamu sendiri. Aku akan minta mama sama papa untuk memperlakukan kamu seperti aku dan adik-adik. Aku janji, papa sama mamaku akan memberikan kasih sayang yang gak pernah kamu dapet. Udah ya, jangan nangis lagi. Aku minta maaf atas semua luka yang pernah aku berikan."

Titik Jenuh [S E L E S A I]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora