Bab 8

34 2 1
                                    

Yato Reynandi: Belum tidur?

Pesan itu dikirim setelah memastikan si penerima masih online. Pukul satu dini hari, entah apa yang dilakukannya sampai masih berselancar di dunia maya.

Hamida: Belum, kenapa?

Yato Reynandi: Lagi apa?

Hamida: Ngegibah.

Yato Reynandi: Hah?

Hamida menutup chat dari Yato dan beralih membuka grup chat yang sedang asyik-asyiknya membahas spoiler anime yang dia ikuti. Malam adalah waktu untuk Hamida memanjakan diri, entah itu menonton anime, menggambar, atau sekadar mencari asupan fangirling di Tumblr dan Pixiv. Dan entah kekuatan apa yang dimiliki Hamida sampai dia masih terlihat baik-baik saja walau pun tidak pernah tidur siang.

Yato Reynandi: dih, engga dibales?

Hamida: Cuman 'Hah?' ya saya bingung mau bales apa?

Layar ponsel Hamida berganti menjadi panggilan masuk dari Yato setelah balasan pesannya itu dibaca. Hamida sedikit ragu untuk mengangkat panggilan tersebut, dia tidak pernah mendapat telepon saat tengah malam, takut jika suaranya akan mengganggu saudaranya. Tapi jika mengabaikannya justru malah membuatnya tidak enak hati. Hamida menekan tombol hijau. Tidak bersuara.

"Hallo?" Yato yang lebih dulu menyapa, butuh waktu yang cukup lama sampai Yato mendengar jawaban dari Hamida kendati hanya gumaman menyahut.

"Hanifa sama Hamizan lagi melototin kamu ya?"

Hamida mengerutkan alisnya, menoleh kanan-kiri, tentu saja yang dikatakan Yato tidak mungkin. Di kamar ini hanya ada Hamida sendirian, berbaring dengan handphone di telinganya. "Engga.." jawabnya lirih.

"Itu suaranya kaya lagi diintimidasi, pelan banget."

"Kan udah malem." Kali ini suara Hamida lebih jelas dari sebelumnya.

Yato menukikkan senyuman, dia berjalan ke arah jendela kemudian bersandar di sana. "Takut dimarahin?"

"Engga sih. Cuman.. engga enak aja ngomong keras-keras."

Yato mengangguk mengerti. "Oke-oke, kamu cukup dengerin aja, atau jawab sekenanya."

"Emang mau ngomong apa?"

"Emm.." Yato memberi jeda, "Mau ngomong kalau tadi aku nemu anak burung hantu di pohon deket rumah Tante, hampir engga keliatan soalnya ketutup sama daun kering."

"Terus?"

"Terus abis itu aku chat Nifa, awalnya bingung mau ngomong apa. kalau tanya kabar atau tanya lagi apa? itu udah mainstream banget. Jadi aku iseng deh nembak dia."

Sepanjang mendengar ucapan Yato, Hamida menahan tawa. Burung hantu yang dikatakan itu jelas-jelas hanya karangan saja. "Diterima engga?"

"Enggak dong. Justru aneh kalau dia nerima, kan becandaan doang tadi aku nembaknya. Terus burung hantu tadi diambil sama bocah di depan rumah, mau dipiara katanya."

Untuk kali ini Hamida tidak bisa menahan tawanya, perubahan topik yang drastis itu jelas-jelas dilakukan supaya Hamida tidak bertanya lagi tentang bodohnya Yato memulai chat dengan Nifa.

"Eeh.. kalau induknya nyariin gimana?" Hamida merubah posisinya menjadi tengkurap, kemudian menarik selimut untuk menutupi kepalanya, berharap bisa meredam suara.

"Biarin, nanti dia dateng ke rumah depan itu terus gangguin itu bocah." Yato tertawa renyah. Tidak ada balasan dari sebrang, hanya suara deru napas beraturan yang didengarnya. Kemudian suara kecil dari mulut Hamida, entah itu tawa atau erangan kecil. "Setiap hari tidur jam berapa?" ucapnya sudah mengganti topik.

Você leu todos os capítulos publicados.

⏰ Última atualização: May 24, 2021 ⏰

Adicione esta história à sua Biblioteca e seja notificado quando novos capítulos chegarem!

AFEKSIOnde histórias criam vida. Descubra agora