Bab 7

72 3 3
                                    

Yato menatap Hamida dalam keterpakuan. Butuh beberapa detik untuk mengembalikan kesadaran. Sedangkan wanita di hadapannya sudah lama menanti respons dan jawaban dari pertanyaannya itu.

"Gimana? Lancar?"

"Hah?"

"Gimana mas? Kok bengong?" Hamida memutar rodanya menghampiri Yato. menatap lekat mata kosong yang entah sedang mencari apa.

"Aku lupa," ucap Yato pelan, setelahnya dia memasang wajah shock sambil mengguncang pundak Hamida. "Aku lupa nomornya tadi berapa???! Mida kasih tahu nomornya Nifa."

"Engga..."

~

Jemari lentik itu sedari tadi memegang pergelangan tangan. Terdapat jam yang melingkar di sana, berwarna senada dengan kulit namun lebih tajam. Di balik jam itu ada ruam berwarna ungu. Memang tidak terlalu sakit, namun itu menjadi bukti bahwa semalam dia mengalami kejadian yang menakutkan.

Di jalanan sepi itu ada motor yang melintang. Hanifa mengelakson dengan keras tak sabaran. Edarannya berputar mencari si pemilik motor atau paling tidak orang yang melintas untuk memindahkan motor tersebut. Sayangnya dia tak menemukan itu.

Hanifa tidak bisa menunggu lagi, dia harus sampai ke Jakarta sebelum tengah malam. Tanpa sedikit pun rasa curiga, dia keluar dari mobil. Berniat memindahkan sendiri motor matic di depannya. Baru saja dia keluar dari mobil, seorang membawa benda tajam sudah muncul di sampingnya. Memojokkan Hanifa di antara pintu mobil. Wajah Hanifa seketika pucat pasi, melihat lelaki bermata sipit dan berkulit bintik-bintik, dengan logat khasnya yang bisa dipahami oleh Hanifa.

Lelaki itu tidak besar, badannya kurus, mata sipitnya itu memiliki lingkaran hitam. Napasnya berbau nikotin benar-benar busuk.

Lelaki lain menunggu di atas motor di depan mobilnya, entah sejak kapan berada di sana seolah siap lari kapan pun dia mau jika aksi mereka gagal. "Buruan kidah, ambil mobilnya." Suaranya berat dengan nada seperti setengah mabuk.

"Jangan." Hanifa menggeleng pelan. Tangannya cekatan menarik pegangan pintu mobil lalu disambut cengkraman paksa dan menghantamkan tubuhnya ke badan mobil. Hanifa berteriak kencang sangat ketakutan. Telinganya dapat mendengar percakapan kedua lelaki itu yang sedang menimang akan memerkosanya. Sebisa mungkin Hanifa bergerak memberontak meski itu percuma saja.

Itu adalah malam ketika dia benar-benar ketakutan. Pikirannya berterbangan. Bahkan sekarang masih dapat dirasakan ketika Hanifa membayangkannya kembali. Jika saja tidak ada mobil yang melintas saat itu, mungkin saja Hanifa sudah dalam keadaan mengenaskan. Kemungkinan terburuk dia akan kehilangan nyawa.

Wajah nanarnya saat itu tidak bisa disembunyikan ketika dia pergi ke kantor polisi. Beberapa warga turut membantu menangkap pelaku pembegalan tersebut. Hanifa berteriak sangat keras saat itu. Dan sekarang dia merasakan tenggorokannya tercekal. Mungkin karena teriakannya itu, atau... karena menahan sesuatu di dadanya yang mulai memberontak.

Lengkungan bibirnya menukik ke atas saat ingatannya kembali berjalan, menuju pertemuan dengan lelaki bernama Reynandi. Jemarinya bergerak meraih handphone yang sedari tadi tergeletak di atas mejanya. Menyentuh permukaan rata tersebut, lalu membukanya. Ada beberapa notifikasi yang muncul di layar, pesan dari pelanggannya, dari kakaknya Hamizan juga dari Hamida. Mereka memiliki urusan masing-masing.

"Mba, desain yang mba minta itu udah dikerjakan. Mba bisa cek sekarang?"

Kelereng coklatnya itu bergerak naik, menatap sekilas pekerjanya kemudian mengangguk. Hanifa menutup aplikasi whatsapp lalu kembali pada pekerjaan. Ada sesuatu yang sedang dia tunggu. Dan dia harus menunggu lebih lama lagi.

AFEKSIWhere stories live. Discover now